Mengeja Rindu

5:13 pm nat 0 Comments

Manhattan, NYC, musim gugur 2011

From      : rayyansm@live.com
To        : imbianca@yahoo.com
Subject   : Re: missing you
Sent      : Oct, 5 2011 12:06 AM
Maaf sayang, baru bales e-mail. Baru bisa buka laptop lagi. Kemaren hectic banget di kampus. Ini malah baru nyampe rumah lagi, abis dari studio.

I’m ok. Are you ok there? Do the big apple be nice to you?

      Dan begitu saja. Seperti yang selalu dia lakukan. Padahal aku mengatakan cukup banyak hal di e-mail-ku kemarin sore. Aku mengharapkan ia melakukan hal yang sama, menceritakan setidaknya bagaimana kuliah Tata Kotanya, bagaimana perkembangan lagu yang sedang ia garap dengan band akustik-nya, bagaimana dua adik kembarnya mengganggunya seharian, bagaimana makan siangnya di Portico tanpa aku, bagaimana ia merindukan aku... Ya, terutama bagaimana ia memikirkan aku setiap malam sebelum tidur dan selalu ingin aku pulang tiap akhir pekan.
      Harusnya mendapat respon seperti ini saja aku sudah semestinya terbiasa merasa cukup. Ketika dia hanya mengirimiku e-mail pukul enam pagi waktu New York bertuliskan ‘good morning, honey’ dengan kurung buka siku dan angka tiga saja aku bisa tersenyum seharian. Enam bulan belakangan, aku sudah berhenti mengharapkan SMS-nya sepuluh menit sekali, telefon paginya yang wajib, dan telefon malam yang rutin. Selain karena kami telah berbeda ruang dan waktu, kesibukanku di kampus yang baru juga membuatku sulit melirik ponsel setiap lima menit sekali seperti yang dulu kulakukan.
      Semuanya berubah sejak aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di New York University dan terpaksa meninggalkan Rayyan di Bandung.
      Ponselku bergetar di sebelah laptop dia atas meja belajarku. Ada sebuah pesan singkat.
From: Faris
Liat ke jendela.
      Dengan dahi berkerut aku melongok keluar jendela tepat di samping tempat tidurku. Seorang pria berjaket gelap melambaikan tangannya tinggi-tinggi ke arah jendela kamarku. Aku tersenyum geli. Segera aku menyambar tas bahuku dan sweater cashmere merah marun dari sandaran single sofa di sudut ruangan kemudian bergegas mengunci pintu dan berlari ke bawah.
      Faris adalah teman baruku. Aku mengenalnya sebulan setelah pindah ke sini. Saat itu aku masih belum menemukan teman akrab karena tidak banyak mahasiswa Indonesia di kampusku. Flat tempat tinggalku juga hanya dihuni oleh dua orang mahasiswa S3 yang sudah separuh baya. Jadi sulit mencari teman untuk sekedar minum kopi sepulang kuliah apalagi untuk bersenang-senang keliling kota tiap akhir pekan. Hingga datanglah aku ke perkumpulan mahasiswa Indonesia New York dan bertemu Faris dalam perjalanan ke rumah salah seorang mahasiswa asal Jakarta yang mengadakan acara bulanan itu.
      Saat itu Faris bagaikan superhero. Dengan polos—atau bodohnya—aku tersasar hingga beberapa blok jauhnya alih-alih berhenti di perhentian bus yang seharusnya. Aku berpikir untuk kembali ke perhentian bus sebelumnya lalu membaca papan rute bus di trotoar jalan.
       Aku mendekatkan wajahku untuk membaca tulisan yang malang melintang dan tidak berbaris. “Ini sih, benang layangan kusut.” Aku bergumam ketika telunjukku menelusuri sebuah garis merah.
      “Orang yang berhasil naik bis sampe tujuan pasti orang gila, nih.” Lanjutku.
      “Kalo gitu gue gila, dong?” Ujar seseorang tepat di sebelahku. Pria itu juga sedang mengamati papan yang sama melalui kacamata berbingkai kotaknya. Dengan agak terkejut aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum. Amat manis dan bersahabat.
      “Lo pasti gila.” Tuturku datar. Sekarang ia tertawa.
      “Mau ke Lower West Side?” Tanyanya. Aku mengangguk dan mengatakan soal acara itu.
      Ia lalu melanjutkan. “Nah, abis ini lo pasti gila.” Tanpa disangka-sangka ia menarik tanganku dan berlari beberapa meter sampai ke sebuah persimpangan jalan di mana taksi-taksi berwarna kuning berjajar. Dan begitulah bagaimana aku akhirnya hidup seperti dalam puluhan chicklit yang kubaca. Tidak bersama tiga atau empat orang gadis lajang, memang. Tidak pula masuk ke outlet-outlet desainer ternama dan keluar dengan tas kertas fancy bertuliskan Emporio Armani atau berjalan di SoHo memakai sepatu boots dan gaun musim panas. Tapi aku bahagia.
      Aku dan Faris bertemu setiap akhir pekan. Kami biasa makan siang atau makan malam bersama di restoran Italia atau di restoran khas Indonesia—satu-satunya restoran Indonesia yang kami temukan di New York City. Jika tidak makan bersama, kami biasanya akan membeli muffin bluberi dan kopi dari sebuah kedai kopi lalu berjalan-jalan di sekitar kampusnya. Atau seperti beberapa hari lalu, secara mengejutkan Faris menemuiku di perpustakaan kampus seusai kelas terakhirku lalu mengajakku piknik di Central Park. Ajakan-ajakannya selalu out of the box sekaligus juga out of the blue.
      Juga kali ini. Aku tidak ingat Faris menelepon atau mengirim SMS untuk mengajakku keluar siang ini. Yang kuingat rencana kami minggu ini hanyalah berburu objek foto di Central Park untuk mencoba kamera DSLR barunya. Itu pun masih dua hari lagi. Sepanjang jalan menuju lantai satu aku nyaris menuruni tangga dengan melompat-lompat sembari terus bertanya-tanya ke mana kami akan pergi siang ini. Lalu Faris menyambutku dengan senyum lebar dan auranya yang selalu ceria.
      “Ke mana hari ini?” Tanyaku dengan senyum lebar begitu aku sampai dan langsung berjalan ke arah Pieter’s Coffee beberapa blok dari flatku. Sepertinya kali ini adalah hari minum kopi dan muffin bluberi biasa.
      “Kopi?” jawabnya. Aku menatapnya, tidak mengerti. “Pieter’s Coffee, to be exact.”
      “Yak, betul. Lagi.” Ujarku. Ini kali keempat kami minum kopi dari kedai itu. Ada sesuatu tentang kedai kopi yang terkesan tua itu, nampaknya.
      “Dan stand secondhand book di ujung 3rd and 11th.” Sambung Faris. Aku memekik tertahan. Ia tahu betul aku adalah kutu buku dengan budget rendah. Siang ini bukan siang biasa ternyata.
      Faris senyum-senyum saja melihat reaksiku yang agak berlebihan. Bahkan saat kami akhirnya tiba di kedai kopi itu. Biji kopi dan harum kue dari panggangan langsung menguar begitu aku masuk. Kami duduk di sudut favorit Faris—sebuah meja bulat kecil yang cukup untuk dua orang dan dua kursi kayu, tepat di samping sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke jalan. Meja lain disusun dengan kursi yang saling berhadapan, namun khusus meja kami, berapa kali pun mereka menyusunnya, aku dan Faris menyusunnya berdampingan sehingga kami berdua duduk menghadap jendela.
      “One black coffee, one macchiato, and two blueberry muffins.” Dengan lancar, Faris membacakan pesanan kami pada seorang waitress tanpa perlu bertanya apa yang sedang ingin kupesan. Ia mengucapkan terima kasih yang singkat sebelum si waitress berlalu.
      “Gue cinta coffee shop ini kayak gue cinta makan nasi siang-malem.” Ujar Faris. Tatapannya terpaku pada kendaraan-kendaraan yang sedang menunggu lampu hijau di jalan.
      “Tapi kenapa jam makan siang gini kita malah minum kopi dan bukannya cari warteg?”
      Faris tertawa kecil. Renyah sekali. Aku menyukainya karena ketika ia tertawa atau tersenyum, muncul sebuah lesung pipi di pipi kirinya. Aku juga menyukai garis rahangnya yang tegas, bulu matanya yang agak terlalu panjang untuk ukuran seorang pria, ujung rambut wajah bekas cukurannya yang mulai tumbuh lagi, rambut yang jatuh tepat di tengkuknya, dan—sorot matanya yang jenaka. Sejak bertemu Faris untuk pertama kalinya di persimpangan jalan itu, aku tidak menyebutnya tampan. Aku menyebutnya ‘enak dipandang’.
      “Selama warteg yang kita temuin di sini ngga punya cangkir kaleng kayak engkong gue, gue bakal lebih milih ngopi dulu.” Tuturnya menatapku sekilas lalu memaku pandangannya lagi. Aku terkekeh geli. Aku juga menyukai bagaimana berbagai hal keluar dari kepala dan mulutnya seolah berlompatan begitu saja.
      Pesanan kami tiba kurang dari lima menit kemudian. Kami menyesap kopi masing-masing dengan khidmat. Lagu Far Away milik Nickelback melantun dari juke box di seberang ruangan.
      Aku melonjak girang di tempat. “Lagu jaman gue SD, nih!”
      “Berasa dinyanyiin buat siapa, gitu ya?” Faris melirikku lewat ujung matanya. Nada suaranya terdengar menyindir. Aku balas mendelik tanpa menurunkan bibir mug dari bibirku.
      Aku jadi ingat Rayyan. Saat ini kurang lebih tengah malam di Indonesia. Rayyan pasti sedang tertidur pulas di ranjangnya tanpa melepas kaus kaki seperti biasa, setengah jam sebelum kuliah Tata Kotanya—dengan mengacuhkan telefon-telefonku. Ia akan pontang-panting masuk ke kamar mandi dan keluar lima menit kemudian, lalu grabak-grubuk berpakaian sekenanya—lupa bahwa dosennya menolak jeans robek-robek yang tak sengaja ia ambil, menyambar tas, barulah akhirnya mengunci kamar kosnya dan melaju kencang dengan Accord tuanya untuk bergabung dengan macet.
      Lalu Rayyan akan terlambat sampai ke kelas, dilarang masuk, dan terdampar di kampus Fakultas Ekonomi, menemuiku—jika aku sedang di kampus dan belum kuliah—atau menelefonku—jika aku sedang di rumah, menceritakan kesialannya pagi itu dan menyalahkan latihan bandnya yang terlalu keras semalam. Itu selalu terjadi setidaknya dua, tiga kali sebulan. Aku bosan mendengarnya menyalahkan ini itu tetapi tidak juga merubah kebiasaannya. Namun aku tidak sampai hati mengalihkan pembicaraan hanya karena aku sudah hapal rutinitas sialnya di luar kepala. Mendengar suaranya saja cukup menyenangkan dan menenangkan.
      Tapi apa yang terjadi enam bulan ini? Tidak ada cerita sial Rayyan. Pukul sepuluh atau setengah sebelas pagi, ketika Rayyan biasanya berkeluh kesah, aku di sini sedang tertidur nyenyak tanpa bermimpi karena tenagaku terkuras seharian untuk mengikuti serentetan kuliah, mengerjakan setumpuk tugas tanpa ampun, dan harus bangun pukul lima pagi. Namun ketika aku bangun keesokan paginya, aku tetap tidak mendapatkan kabar apapun. Saat aku menyelesaikan semua urusanku di kampus pukul empat sore dan baru sempat mengecek e-mail masuk, sudah hampir pagi di Bandung. Rayyan dapat dipastikan sudah jauh terlelap. Begitu seterusnya. Tidak ada e-mail, tweet, wall post atau yang sejenisnya seusai kuliah Tata Kota. Tidak ada keluhan apapun.
      Kabar bagus sebetulnya. Itu artinya tidak lagi ada Rayyan yang berkeluh kesah dan menyalahkan ini itu. Itu artinya ada Rayyan Yang Lebih Baik. Tapi hati kecil ini telah lama berteriak. Bagaimana jika Rayyan masih berkeluh kesah namun bukan padaku? Bagaimana jika Rayyan berkeluh kesah pada wanita lain? Bagaimana jika Rayyan berkeluh kesah pada Indira, mantan kekasihnya semasa SMA?
      Secara refleks aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengusir pikiran itu. Aku sudah lama sekali sembuh dari sindrom Bagaimana-Jika-Rayyan yang pada awal-awal kedatanganku ke sini agak gelap dan mengusik.
      Tapi aku memang tidak pernah suka Indira! Jerit sebuah suara jauh di dalam diriku.
      Indira terlalu sempurna untuk ukuran manusia. Ia sangat cocok menjadi kandidat Puteri Indonesia. Ia cantik, anggun, cerdas, berprestasi, berkarisma, kaya raya, baik hati, dipuja banyak orang—for God’s sake, tidak ada orang selengkap itu di belahan manapun di muka bumi ini! Indira seolah hanya karakter buatan yang tidak bercacat. Baik, kuakui aku iri padanya karena ia memiliki segala hal yang diinginkan seorang wanita. Ditambah kenyataan bahwa Indira dan Rayyan pernah berpacaran selama tiga tahun penuh dan putus ‘hanya’ karena Indira harus kuliah film di Munich.
      Aku berani bertaruh jika Rayyan bisa mengikuti Indira pindah ke Munich, mereka pasti masih akan berpacaran sampai detik ini dan—mungkin—menikah dalam waktu satu atau dua tahun lagi. Ini sebetulnya bukan masalah. Aku bisa menyisihkan prasangka-prasangka tentang Indira. Tapi satu lagi kenyataan bahwa mereka masih sering berhubungan via Facebook atau Twitter—bahkan SMS—dalam saat-saat tertentu, membuat ketakutan dan kecurigaanku tetap tumbuh subur.
      Di saat-saat awal ketika aku tahu bahwa aku akan pindah kuliah ke New York, sempat terlintas prasangka jahat itu: Rayyan kembali memacari Indira di belakangku. Susah payah aku membuangnya jauh-jauh hingga akhirnya aku tiba di sini dan hidup dengan pikiran yang tenang. Semuanya terusir oleh satu mantra kecil. Mantra yang kuulang-ulang setiap kali kepercayaanku goyah: aku percaya Rayyan dan Rayyan mencintaiku seutuhnya.
      Di luar semua itu aku sedang sangat merindukan Rayyan.
      “Gue ngga maksud bikin lo jadi keinget Rayyan loh, Bi...” Buru-buru Faris meralat ucapannya dan membangunkanku dari lamunan yang tak terelakkan itu. Ada nada sesal dalam suaranya.
      Aku tersenyum kecil padanya. Senyum lirih yang lemah. Kurapatkan pegangan pada mug kopiku yang tinggal terisi setengah. Sesungguhnya aku sudah terlanjur menenggelamkan diri pada kegalauan.
      “Ketika perasaan seseorang telah dibodohi dan dibohongi sebegitu rupa, butuh waktu berapa lama hingga ia bisa kembali mempercayai?” Tuturku. Faris tahu persis apa dan siapa yang kumaksud. Dalam waktu kurun waktu beberapa bulan belakangan, aku menceritakan bermacam hal dengannya. Aku menceritakan bagaimana mantan pacarku dulu meninggalkanku demi perasaannya yang ternyata masih kuat pada gadis yang pernah ia taksir dulu sebelum ia memacariku. Juga tentang bagaimana hal itu membuatku sedikit trauma menangani kepercayaan yang selalu berujung pada pikiran-pikiranku tentang Rayyan dan Indira. Mungkin Faris sudah sangat bosan mendengarkanku dan ingin melemparkan diri melalui kaca kedai ini.
      Tapi Faris selalu menanggapiku dengan senyum hangat dan penuh simpati. Seperti ini.  Orang-orang dengan senyum seperti inilah yang akan siaga di garda depan sedalam apapun aku terpuruk.
      “No one tells you. You tell yourself.” Jawabnya. “Gue sendiri butuh rebound sampe bisa percaya lagi. Yang mana pada saat itu giliran si rebound girl yang mulai ngga percaya gue. Liat, kan? Semuanya sekarang jadi kayak lingkaran setan.”
      Aku melempar senyum skeptis ke arahnya. Faris, Faris... Gadis mana yang tega mengkhianati pria sepertinya? Gadis mana yang tidak betah berlama-lama mengobrol dengannya? Jelas, bukan aku.
      Bangun, Bianca. Suara itu memerintah dengan tegas. Apa yang kupikirkan? Pikiran jahat macam apa lagi ini yang tiba-tiba menyelinap masuk di antara rindu yang biasa kuraba dan kueja dengan lancar?
     Lagu Like A Star melantun dari juke box begitu saja. Seseorang menggantinya. Ini terasa bagaikan sebuah wake-up-call yang jahat dan kasar. Ini lagu kenanganku bersama Rayyan. Kami pertama kali mendengarnya saat merayakan ulang tahunnya di tahun pertama hubungan kami di sebuah kedai kopi kecil dekat kampus. Mirip tempat ini. Seketika itu juga I could easily relate the song with us.
      Aku tertawa sinis dalam hati. Nadanya agak menghina diri sendiri. Enam bulan tanpa Rayyan ditambah akhir pekan bersama Faris dan aku kini dengan mudahnya membiarkan pikiranku merajalela sampai pada—katakanlah—menjalin sesuatu dengan pria ini? Sepertinya aku harus mengambil beberapa hari cuti jalan dengannya. Tapi—
     “Akhirnya kelas Marketing gue jauh lebih nyita perhatian dari pada sekedar cewek gue yang ngga SMS pagi-pagi.” Ucapannya membuyarkan lamunanku.
      Lihatlah senyum itu. Bagaimana bisa aku cuti dari menghabiskan waktu bersama Faris barang satu atau dua hari? Dia adalah alasan mengapa aku harus bertahan di tempat yang sama sekali asing ini. Dia adalah alasanku tersenyum setiap Jumat sore yang melelahkan hingga Senin pagi yang sibuk. Dia adalah alasan mengapa aku tetap tertawa di saat-saat Rayyan alpa menghubungiku. Dia ini sekarang adalah matahari pagiku, yang menyadarkan aku bahwa selama matahari masih bersinar di tempatnya maka hidup ini tidak patut dikhawatirkan. Adakah yang bisa menjelaskan bagaimana seseorang hidup tanpa terik matahari seperti itu?
      Aku mengerti sekarang. Inilah alasan mengapa hubungan jarak jauh—apalagi antarbenua—itu sulit dan rentan. Seringnya kepercayaan kita goyah oleh bermacam godaan.
      Aku beranjak dari dudukku seraya berkata, “Kenapa kita ngga langsung aja ke 3rd and 11th?”

bersambung...

You Might Also Like

0 comments: