Catatan Kecil Dari 10 Desember

3:02 pm nat 0 Comments


Siapa dia?
Dia temen sekelas saya waktu kuliah. Dia menonjol dari pada yang lain karena dia mengajukan diri sebagai ketua kelas. Yaa, seenggaknya sampe kita tingkat 2. Tingginya sekitar 170an dan bertubuh padat—kalau tidak bisa dibilang gemuk. Kulitnya coklat gelap, rambut ikalnya hitam legam dengan potongan gondrong gaje sebahu.  Saya suka hidungnya. Eh, ngga juga sih, saya sebenernya iri sama hidungnya yang lurus dan tinggi itu karena hidung saya sendiri pas-pasan. Dia ngga ganteng, jujur aja. Tapi ngga jelek-jelek amat juga. Lumayanlah enak dipandang :D
Dia seorang seniman. Dia melukis dan menggambar di media apapun yang bisa dia temukan; buku sketsanya, kanvas, modul praktikum saya, selembar tisu, buku catatan kuliah saya, bangku kelas, seluruh dinding kamarnya, kaca spion dan lampu motornya, sampai dinding besar di pinggir jalan raya, tentu aja. Dan karya-karyanya bagus. He’s really a pro.
Dia adalah seorang wirausahawan multitalenta yang biasa nerima order sablonan.
Dia cerdas, wawasannya luas, sudut pandangnya lebar. Jenis cowok lempeng yang ngga akan ngomong atau ketawa kalo ngga penting-penting amat. Dia sangat-sangat moody—sesuatu yang sampe sekarang sering bikin saya gemes pengen jitak pake Kapak Naga Geni. Dia kadang persis abg labil kalo lagi gampang marah dan emosi tapi kadang kayak eyang kakung saya kalo lagi nasehatin saya atau ngobrolin masalah temen-temen kita. Dia suka baca otobiografi dan dengerin musik cadas atau musik blues—atau soundtrack Twilight Saga akhir-akhir ini setelah saya pengaruhi. Dia tipe pekerja keras dan rasa tanggung jawabnya tinggi. He’s a bad guy gone good. Dia pria dengan kombinasi teraneh yang saya kenal. He’s wonderful.
Gimana ya mendeskripsikan saya, dia, dan hubungan kami?

Saya rasa dia udah kelewat sabar ngadepin saya selama ini karena saya mungkin adalah pacar yg paling beda dari pacar-pacar sebelumnya karena paling bawel, paling ngga nyantai, paling rumit, paling manja, paling lebay, paling sering bikin pusing, dan paling-paling lainnya. Semuanya saya pikir adalah karena jarak kami yang deket dan intensitas ketemuan yang tinggi banget ini. Clash jadi gampang banget terjadi.

Apa sebenernya yang lagi kita jalanin?

Di bulan ke-13, berantemnya mulai aneh; kecil-kecil tapi sebentar-sebentar. Di menit ini kita berantem, adu argumen, saling memenangkan diri sendiri, dan 20 menit kemudian kita dengan ajaibnya bakal ngirim sms selamat tidur yang manis lengkap dengan virtual goodnight kiss-nya kayak biasa.
Saya heran, apa sebetulnya yang ada di pikiran dia setiap kita berantem. Saya selalu pengen tahu tapi ngga pernah berani nanya.

Apa yg paling saya suka dari dia?

Dia, keberadaan ataupun ketiadaannya, selalu bikin saya merasa aman. Secara fisik dan mental. Badannya--jelas--lebih besar dari saya, lebih tegap, lebih berotot, lebih lebar, dan itu--sekali lagi jelas--bikin saya yg kecil ini jadi merasa sangat terlindungi.
Selain itu, dia punya sesuatu yg orang lain ngga punya. Dia selalu bisa bikin keadaan jadi tampak baik2 aja dan ngga ada yg ngga bisa saya lakukan. Semuanya jadi terlihat mungkin, semustahil apapun kelihatannya.

Apa yg sama di antara kami berdua?

Ngga banyak. We're different in many ways and forms. But we're also alike in an unpredictable way.
Kayak kita ternyata suka beragam jenis musik dan ngga bisa stick di satu genre--kecuali ada yg kita berdua cinta bgt kayak soul. Lalu kita suka makan apapun di pinggir jalan. Walaupun saya sendiri ngga nolak kalo diajak makan di resto yg kecean dikit :P
Terus... Kayaknya ngga ada lagi. Bedanya lebih banyak.

Apa yang menyenangkan dari hubungan ini?

Surprisingly, bukan cuma kebersamaannya, tapi juga keterpisahannya. Okelah, let's say we live in the same life. Kita mesti ketemu sekitar 4-6 jam sehari, 4 hari seminggu, biarpun ngga mesti sama2 karena temen2 saya dan temen2 dia bisa dibilang adalah 2 grup yg bertolak belakang; temen2 dia kerjanya duduk2 dgn tenang bareng2 di kosan dan temen2 saya seringnya jalan2 keliling kampus atau malah nge-mal di sela2 kuliah.
Tapi itulah yg saya pelajari. Sejak sama dia, saya punya kemampuan hebat--hebat sekali malah-- untuk mentoleransi kesendirian.
Anehnya, sendirian versi saya tidak lagi berarti 'ngga punya siapa2 yg menemani'. Sekarang sendirian versi saya adalah 'merelakan diri ditelan kebisingan dgn tetap merasa ramai'.
Toh kita ngga harus selalu berdua--walopun ada beberapa saat di mana saya lagi pengen2nya manja2an sm dia. Lebih baik sendirian dan merasa ramai di dalam daripada selalu dikelilingi keramaian tetapi merasa sepi di dalam.
What a good thing to learn :)
Hal lain yg menyenangkan dari hubungan ini adalah betapa saya menikmati detik2 saya tersenyum2 penuh kenistaan ketika saya menemukan bukti kecil bahwa saya adalah pacarnya dan seolah2 seisi dunia tahu itu dari ceritanya. Seperti malam itu, waktu teman2nya bertanya di mana pacarnya. Saya cuma tersenyum2 bodoh membaca smsnya selama beberapa detik.
You know, that kind of smile when a guy stating directly or indirectly that he owns you.
Saya menikmati detik2 itu. Saya menyukai fakta sederhana bahwa saya memiliki dan dimilikinya.

Fakta paling mengejutkan?

I've had it that night. Waktu teman2 menggambarnya menginap di rumahnya. Saya tahu kalo kelakuan teman2nya itu sama seperti kelakuan dia jaman sekolah dulu. Sama tahunya kalo sekarang dia udah bener2 free and healed. With all the booze, girls, bikes, and another wilderness.
Begitu dia ngaku kalo tempo lalu dia pernah balik lagi ke 'sana', saya biasa aja. Tapi hal itu jadi ngga lagi kerasa biasa sewaktu saya mewanti2nya pas temen2nya lagi nginep itu, supaya jangan sampe dia ikut2 'balik lagi ke sana'. Ada dorongan aneh di diri saya kalo ngebayangin dia begitu lagi. Entah itu campuran perasaan khawatir, takut, ngga percaya atau apa, saya ngga ngerti.
I just thought that I would cry if he ever does it again. Itu tuh rasanya kayak ngeliatin orang yang kamu sayang tenggelam di laut dan kamu ngga bisa ngapa-ngapain kecuali berdiri di sana, ngga berbuat apa-apa karena kamu ngga bisa berenang.

Apa yang terjadi pada saat-saat genting?
Saya—kita tepatnya—berada di satu bulan penuh masalah. Penuh sekali dengan kejenuhan, kekesalan, kemarahan, kedinginan, dan prasangka. September 2012 itu, adalah bulan berat untuk saya dan dia. Sejak awal bulan yang kita berdua lakukan adalah berselisih paham, beradu argumen, meredam amarah dan kekesalan. Samapi akhir bulan pun kita masih seperti itu; dia menjadi lebih cepat marah sedangkan saya menjadi lebih sering berprasangka. Tiap hal yang kita lakukan atau tiap hal yang saya katakan seolah menjadi bumerang yang berbalik menyerang saya. Saya jadi lebih waspada pada hal terburuk yang mungkin terjadi. Berulang-ulang saya bilang ke diri sendiri bahwa ini cuma satu dari sekian banyak ujian yang memang sudah waktunya tiba. Saya pada bulan itu dilanda kebingungan yang jujur saja cukup menyesakkan. Tiba-tiba saja muncul pertanyaan-pertanyaan berbahaya di kepala saya; ‘apa aku akan kuat?’, ‘apa dia akan bertahan dengan aku yang begini?’, ‘berapa lama kita mampu bertahan?’,‘apa kita akan sampai tujuan?’, ‘apa yang harus aku lakukan agar kita bertahan lebih lama dan lebih lama lagi?’ dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Dan ini tidak terjadi pada kali itu saja. Namun juga pada beberapa titik di perjalanan saya dan dia yang telah lalu.
Tapi yang tidak pernah gagal membuat saya yakin adalah sebuah fakta kecil yang pernah dia bilang bahwa dia ngga bertahan karena kasihan, dan bahwa dia tinggal karena memang sayang dan kalopun perasaan itu udah menguap dia bakal bilang dan ngga usah repot-repot bertahan.
See? Dia bertahan.
 Setidaknya untuk sebuah proses yang kita jalani pelan-pelan ini. Saya selalu kembali ke situ setiap kali ketakutan dan keraguan menyergap. Dan yang bisa saya lakukan kemudian hanya menanamkan keyakinan kuat-kuat bahwa jika kita memang dilahirkan untuk saling menemani, maka kita akan baik-baik saja dan jika pun tidak, maka ada rencana lain yang telah Tuhan siapkan untuk kita. Saya mulai berhenti menaruh ekspektasi. Saya cuma perlu yakin. Dan menerima. J 
Apa yang dia ngga tahu?
I’ll tell you some things. Kadang saya masih deg-degan kalo mau ketemu sama dia, mau itu dia yang dateng ke rumah, kita ketemu di kampus, atau sekedar pergi kencan. Deg-degan dan malu itu masih ada, masih sama kayak waktu baru mulai pacaran dulu.  I wonder why.
Hal lain yang dia ngga tahu adalah bahwa tiap BBM atau SMS kecilnya bisa bikin mood saya naik seketika. Saya ngga peduli isinya apa, mau itu cuma nanya lagi apa, udah makan atau belum, atau ucapan paling magic sedunia kayak, ‘selamat pagi’.
Saya juga sebenarnya ngga musingin kalo kita ngga ketemu karena dia sibuk dan seharian kita ngga saling menghubungi. Karena satu telefon 14 menit atau beberapa SMS atau BBM malemnya udah cukup. Yang penting dia inget saya di sela-sela kesibukannya. Dan itu cukup.
Saya selalu kangen ucapa selamat pagi darinya. Itu selalu terasa menyenangkan dan menghangatkan.
Oia, dia juga ngga tau kalo malem bulan September waktu saya nulis bagian pertanyaan ini, saya terus-terusan senyum-senyum ngeliatin foto kita berdua yang kita ambil sorenya di rumah saya sepulang kuliah. Manis juga sebenernya. Biarpun mukanya asem-asem gimana gitu.
Silakan bilang saya dangdut.
Apa yang aneh?
Dari dulu saya pikir seru kali ya ngabisin waktu deket-deket dia, ngerjain satu proyek bareng-bareng, pusing bareng-bareng... Saya selalu nunggu kesempatan itu. tapi ketika kesempatan itu bener-bener dateng, di beberapa titik saya malah capek. Saya malah takut.
Capek karena ego saya dan dia gampang banget berbenturan. Perselisihan yang paling mendasar semacam, selera siapa kayak gimana, siapa sukanya apa, siapa mikirnya apa, dll.
You know, we’re two different people. Di beberapa sisi harus diakui saya dan dia ini ngga bisa sama.
Saya takut masalah- masalah dan ego yang saling bergesekkan ini bakal merusak sedikit demi sedikit alih-alih menguatkan ikatan yang kita bangun dari nol sama-sama.
Mungkin bener, ya absence makes heart grow fonder. Dan bahwa lebih baik menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Termasuk juga porsi tatap muka dan komunikasi. Karena perlu diakui kalau jarak dan ketiadaan yang sementara bikin hati dan ikatan lebih kuat, lebih erat, lebih dekat.

Apa harapan yang sebenar-benarnya?
Ngga’ banyak. Ngga’ muluk juga mungkin. Saya cuma pengen jadi orang yang selalu berhasil bikin dia senyum lagi kapanpun dia ada di saat-saat terburuknya. Saya pengen kalo misalnya suatu saat nanti kami ngga’ bisa sama-sama lagi terus kita ketemu di jalan, dia bilang dalam hatinya, ‘gadis ini yang selalu jatuh hati padaku.’ Begitulah bagaimana saya ingin diingat. Saya ngga’ pengen ngerasa paling bener mencintai dia. Cukup bagi saya memberikan perasaan ini kepada pria seperti dia. Dengan cara yang benar. Karena mencintainya adalah keputusan yang benar.

Pacar saya emang ngga kayak cowok2 lainnya. Tapi emangnya kenapa? Dia terasa lebih baik :)

0 comments:

Benang Kusut Rasa Ala Ika Natassa

3:34 pm nat 0 Comments


Judul buku      : Antologi Rasa
Penulis            : Ika Natassa
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Harga              : Rp 48.000,-
Tebal               : 339 halaman

Antologi Rasa bercerita tentang 3 orang sahabat yang saling memendam perasaannya antara satu sama lain kemudian bagaimana mereka menemukan bahwa kenyataan dan pengharapan seringnya berbanding terbalik and basically how they fall in and out of love.

Sebetulnya standar saja, cerita khas masyarakat urban dengan karir yang hebat, gaya hidup glamor, dan kehidupan cinta yang dinamis dengan bumbu romance yang twisty. Tapi bagaimana cara Ika bertuturlah yang menjadikan buku ini berbeda dengan buku bergenre metropop lainnya yang sejenis. Ika bertutur dengan begitu luwes. Membaca buku ini sejak halaman pertama terasa seperti mendengar penuturan seorang teman dekat yang tidak menyimpan rahasia apapun dari kita. Begitu mengalir dan engaging.

Hal berbeda lainnya adalah bagaimana character development setiap tokoh tampak seperti dipahat dengan begitu sempurna. They’re perfectly imperfect. Sangat manusia. Ditambah lagi sudut pandang orang pertama dari ketiga tokoh utamanya dihadirkan dengan sangat pas dan tidak terkesan ‘cerewet’ walaupun pergantiannya pada beberapa titik begitu cepat.

Antologi Rasa kadang terasa seperti ensiklopedia singkat dengan penuturan Ika tentang sejarah kontemporer, fotografi, dan dunia perbankan yang memang  digelutinya, dan terkadang bisa juga terasa seperti buku harian orang lain atau telefon seorang teman lama yang punya banyak sekali komentar jahil dan macam-macam hal untuk dikatakan. Beyond unique.

Yang menjadi perhatian kemudian ketika dibandingkan dengan karya Ika lainnya yaitu A Very Yuppy Wedding dan Divortiare adalah bahwa latar belakang tokoh utamanya hanya berkisar di situ-situ saja, di daerah yang Ika ketahui benar sehingga jika seseorang membaca beberapa karya Ika lainnya, latar belakang ini jadi tampak monoton. Memang sebaiknya seorang penulis menulis hal-hal yang betul-betul mereka pahami agar konsistensi selama cerita berlangsung tetap terjaga, namun alangkah baiknya jika Ika lebih sering ‘bermain’ di daerah lain  pula sehingga memperkaya tidak hanya tulisannya tetapi juga memperkaya pengetahuan dan perasaan pembaca.

Secara keseluruhan buku ini layak dibaca apalagi oleh pecinta genre metropop. Hangat, dekat, dan sangat menghibur.

0 comments:

what i had in mind recently.

11:26 am nat 0 Comments











geeeeezzz i'm falling in love with her :3
check her personal blog here.
you'll get totally mesmerized :DD

0 comments:

11:13 am nat 0 Comments


ketika tiba masanya kata yang biasa terlimpah darimu tinggal aksara, segera utarakan padaku.
aku perlu berkemas dan bersiap melangkah keluar dari rumah hatimu sebelum rumah itu runtuh dan aku terperangkap di dalamnya.

agustus 2011

0 comments:

10:34 am nat 0 Comments


Cintamu tak kasat mata. Bahkan kadang terasa sedingin es. Tapi aku tahu, aku paham cintamu tetap menyala di perapiannya; menghangatkan dari dalam.

Mei 2011

0 comments:

Imaji Kehilangan

10:30 am nat 0 Comments


Tanpa kamu itu sepi mencekik.
Tanpa kamu itu gelap meraja.
Tanpa kamu itu detik berderet merantai.
Saat kamu beri aku imaji hilangmu ini, seketika itu pula aku hilang, berada di antara kosong dan pekat.
Lalu bagaimana jika imaji itu nyata?
Beranikah kamu bayangkan itu?
Aku tidak.                
Kini biarkan malam naik hingga titiknya yang paling hitam
lalu biarkan fajar menggusurnya hingga matahari kembali.
Hingga kita kembali.

0 comments:

A Greatest Desire, That Is.

7:54 pm nat 0 Comments


Do you know what my greatest desire is? For those who’s known me for years or has been reading this blog may have some good, typical answers.
Do you guess that it’s becoming  a famous writer?
Writing a best-seller book?
Being awarded by The Best Scriptwriter of The Year?
Being the best blogger in Indonesia with thousands followers and high page rank?
To tell the truth, it’s not about fame. It’s not really about books or writing either.
It’s about photography and travelling.
These two things have nothing to do with writing, literature, or something like that, that I do almost everyday.
I don’t really remember the day I realised what my greatest desire is. It was the night when I watched Twilight for like, a hundredth time. There was this scene when Bella went to a bookstore to buy a book he ordered about Quilieutte and vampire legend. The bookstore was really a sanctuary, at least for a dork like me. The bookstore was old and quite small with books stored in the high shelves, almost fulfilling the walls. The lighting was dim, a bit mellow and gloomy. I can imagine the warmth and her quick conversation with the native America shopkeeper.
That is what I want to experience. I want to travel all over the world with my camera, seeing great places, taking pictures, meeting various people, exchanging stories, and having nice conversations. I want to travel alone, from Bali to Verona. From Manhattan tu Bhutan. From Georgetown to Japan.
To make it all perfect and related to my current job, I’ll write a book about my long trip and what I learned from it. The book will be completed with the photographs I take and the stories behind it. And finally it’ll make money : )
I want to see the world.
Do you believe in dreams that come true? I’ll make it true. I don’t think that it’s too late to realise your own dream and pursue it.
For me? I think I’ll start saving for a camera. An analogue camera is good. And for my own netbook so that it can fit my little bag. And for a first plane ticket to Bali, indeed. I’ll start the journey from there. Someday, there will be a book titled ‘A Camera To Rome’ with my name printed on the front cover. Yes, someday. 

0 comments:

3:29 pm nat 0 Comments

she's beautiful, is't she? a darling, really...



source: http://www.ricoh.com/r_dc/gxr/features.html

0 comments:

2:38 pm nat 0 Comments


Biarkan aku bersimbah rindu. Tak perlu kau ikut hanyut jika nanti rindu itu menganak sungai.
Mei 2011

0 comments:

antara menulis dan menjadi penulis

2:15 pm nat 0 Comments


menulis itu gampang. anak TK baru masuk juga bisa. menjadi penulis, itu yang susah.
menjadi penulis artinya kamu menerjemahkan apa yang tertangkap oleh kelima inderamu hingga orang lain dapat membacanya dengan jelas.
menjadi penulis artinya kamu menjadi penguasa tunggal yang menentukan segala apa yang membanjiri kepalamu untuk kemudian keluar menjadi serangkaian kata.
menjadi penulis artinya kamu menjadi pejuang sejati yang memulai semuanya dari awal hingga akhir.
menjadi penulis artinya kamu mengamati sekelilingmu, menangkap realita lalu membingkainya dengan kata.
menjadi penulis artinya kamu meraba dunia dengan kelima inderamu, juga dengan indera keenam atau ketujuh: hati.
menjadi penulis artinya kamu menjadi pengamat sejati, pengamat yang terjun ke dalam realita, merasakan pahit getirnya lalu merangkai sesuatu dari situ.
menjadi penulis artinya kamu bergulat dengan segala macam perasaan; yang benar-benar terasa dan yang sengaja dirasa-rasa.
menjadi penulis artinya kamu melakukan itu semua dalam kesenyapan. karena hati dan pikiran hanya menajam dalam kesunyian.
menjadi penulis artinya kamu sendirian tidak peduli seberapa ramai hingar bingar dunia di sekelilingmu.
seorang penulis boleh berteman dengan banyak orang, tapi teman sejatinya hanya pikirannya sendiri.
jika berani menulis, maka hal pertama yang harus kamu punya adalah keberanian untuk tetap sendiri dan mengunyah perlahan sepi itu sendirian.

0 comments:

Bukan Tentang Seorang Puteri dan Seorang Pangeran

11:40 am nat 0 Comments

pria itu adalah kekasih seorang gadis.
tapi ia bukanlah pria yang akan meniup jarimu yang melepuh ketika kalian memasak bersama. ia akan menjitak kepalamu dan menertawakan kecerobohanmu.
ia bukanlah pria yang akan menggenggam tanganmu dengan mesra di depan teman2mu. ia akan mengolok2mu dengan hal2 konyol tentangmu di depan mereka.
ia bukanlah pria yang akan memberimu sekuntum bunga untuk meminta maaf. ia akan duduk dalam diam, berpikir dan menyadari kesalahannya sendiri.
ia bukanlah pria yang akan mempersembahkanmu sebuah lagu sendu nan mendayu. ia akan bernyanyi keras2 sepanjang jalan ketika mengantarmu pulang dengan motornya hingga pengendara lain memandanginya seperti memandang orang gila, agar kau tertawa.
ia bukanlah pria yang akan memberimu permata berkilauan saat kau berulang tahun. ia akan menghadiahkanmu sebuah gambar yang bisa kau pajang di dinding dan kau pandangi setiap hari dengan dahi mengernyit lalu tersenyum membayangkan usahanya.
ia bukanlah pria yang akan menjawab dengan rangkaian kata2 puitis bergelimang janji suci saat kau bertanya alasannya mencintaimu. ia akan membuktikannya dengan mengantarmu pulang malam hari di bawah hujan walau dalam keadaan sakit.
ia bukanlah pria yang akan mengajakmu kencan sepulang kuliah. ia akan menenggelamkan dirinya dalam sketsa2nya sementara ia membiarkanmu tenggelam dalam tulisanmu karena bagaimanapun ia tahu kau sedang hidup di duniamu sendiri.
ia bukanlah pria yang akan menghujanimu dengan surat cinta. ia akan mengurung diri berjam2 dalam kamarnya untuk membuatkanmu sebuah lukisan abstrak.
ia bukanlah pria yang akan membawamu ke restoran untuk makan malam di bawah cahaya lilin. ia akan mengajakmu makan malam di warung tenda di pinggir jalan dan berbaur dengan para seniman jalanan.
ia bukanlah pria yang akan memuji dandanan dan sikap anggunmu. ia akan menikmati setiap detik memandangi dandananmu yang asal dan memuja tingkahmu yang tidak seperti perempuan lainnya.
ia bukanlah pria yang akan mengajakmu ke tempat romantis yang kau mau. ia akan mengajakmu berkeliling kota, ditelan kebisingan, bersentuhan dengan asap kendaraan, mengobrol tentang tempat2 yang ia kenal sejak kecil dan cerita2 masa lalunya di sana atau mengunjungi tempat2 sunyi dan damai di mana kau hanya akan mendengar desau angin.
walau si gadis tidak selalu merasa diperlakukan seperti seorang puteri,
walau si pria tidak selalu bertingkah seperti seorang pangeran,
 walau orang lain memandang mereka sebagai pasangan yang berbeda dari orang kebanyakan,
sesungguhnya gadis yang berhasil memenangkan hatinya adalah gadis yg beruntung.
karena ia adalah pria yang manis dengan ketidakmanisannya,
yang romantis dengan caranya yang paling ajaib,
yang peduli dengan keacuhannya,
yang hangat dengan semua dinginnya,
yang mencintai tanpa arogansi,
yang menyayangi tanpa tendensi,
yang istimewa dengan kesederhanaannya.
pria itu adalah kekasihku.
memiliki dan dimilikinya adalah sebuah kemewahan.
*hey kamu. iya kamu. ini memang tentang kamu. i really am proud of you :)

0 comments:

12:58 pm nat 0 Comments

I think I'm going to learn something new. Like flash fiction. So hook me up.

0 comments:

15 April 2012

11:24 am nat 0 Comments





Selamat datang di dekade yang baru.

0 comments:

That Constant Fear

12:15 am nat 0 Comments

I always have that constant fear. Permanent fear, I think. I’m scared of making mistake. Though I clearly know that living with such fear, will only make you end up in doing nothing.
With the current boyfriend I have, I’ve been staying for this long. We’ve been through almost everything more than one year—14 months and 14 days, to be precise. We’ve been through the worst and the best, along with me, making mistakes in the relationship. It seems that making mistakes here and there is something that I keep doing no matter how bad it all was. It seems that I’m powerless and brainless, for not learning from mistakes after mistakes.
And see what I do now; I stay with him after he forgave me like, thousand times. I should’ve let him go or leave him—since I can’t see him suffers from forgiving my mistakes. But I stay, instead. I risk every single piece of myself by staying and could possibly been hurt by seeing him suffered from keep forgiving my constant mistakes.
I stay because I love him. But I can’t do this anymore as long as I can’t control what I’m gonna say, act, or instantly think. I get jealous many times, I get on my nerves, I get upset, I get angry, I lose my patience most of the time. I’m only human. No, I’m not only human. I’m a bad—or even worse—kind of a human.
It seems that I am the bad guy here. I’m screwed. I’m a total mess. I’m terrifying.

0 comments:

Rumah Baru

5:46 pm nat 0 Comments

Saya baru pindah rumah tanggal 16 februari kemarin. Ngga jauh, sih dari rumah saya yang lama tapi tetep aja rasanya beda banget karena tetangganya beda dan sekarang posisi rumahnya di kompleks perumahan, ngga di pinggir jalan lagi kayak kemarin.
Malemnya saya ngga bisa tidur. Saya gelisah setengah mati. Kejadian-kejadian penting pun kembali diperlihatkan. Yang pahit, yang manis, yang nyebelin, yang ngangenin... 
Ditembak via telfon (culun amat ya saya dulu??), diputusin di chatroom sama cowok yang sama, berantem di telfon sama pacar yang sekarang, berkasih di sana, semuanya jadi lucu kalo diinget-inget lagi.

Pagi itu saya bangun karena berisik orang-orang yang mulai ngangkutin koper dan kardus-kardus yang malem sebelumnya udah disusun di ruang tamu. Satu-satu barang mulai dikeluarin. Ruang-ruang mulai kosong. Tinggal debu dan cat yang mengelupas. Semuanya jadi terlihat sama seperti saat saya baru pindah 8 tahun lalu. 
Rumah saya baru selesai dikosongin sekitar jam 12 siang dan rumah baru selesai didekor waktu hampir maghrib. Selesai beres-beres badan saya berasa remuk. Hari itu saya dekil dan menyedihkan.

Anyway, the new house is smaller. Actually, I don’t know whether the house that is small or our stuff that’s too much. Dari pertama kami niat pindahan, saya udah pengen banget ngebuang-buangin aja barang-barang lama yang udah ngga pernah dipake. Tapi Mama saya keukeuh nyimpen barang-barang itu dengan alasan masih bakal dipake kapan-kapan. Saya cuma geleng-geleng kepala. Sebelah mananya diktat kuliah perhotelan Papa saya masih bakal dipake?

Though our new house is smaller but this feels better : )

0 comments:

Mengeja Rindu part II

10:34 pm nat 0 Comments

      Aku memandang berkeliling kelas News Service yang mulai kosong hampir pukul 8 malam itu. Setelah hasil tes minggu lalu dibagikan aku ragu apakah aku akan tetap tinggal di sini hingga akhir tahun. Dengan ekor mata, aku melihat huruf D besar dengan tinta merah di ujung kanan atas lembar jawaban itu. Juga di lembar-lembar berikutnya yang huruf merahnya hanya C dan D. Aku meringis. Kubalikkan kertas-kertas itu di atas meja. Ini akan jadi surat perintah kepulanganku ke Indonesia. Dan beasiswaku terancam dicabut.
      Ketika seorang gadis berkulit gelap melintasiku untuk keluar kelas, buru-buru aku menyusut air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Kuraih ponselku dan menekan tombol speed dial 2. Rayyan. Hanya ia yang langsung muncul di kepalaku saat ini. Terdengar nada sambung beberapa detik sebelum sambungan akhirnya diputus dari sana. Sial. Rayyan me-reject telefonku. Air mataku menderas.
      Terlalu buruk. Sebuah horor di awal minggu. Masih tiga hari sebelum Faris bisa sepenuhnya kutemui. Jika tidak kuliah, saat ini Faris pasti sedang berada di penyewaan DVD tempatnya bekerja paruh waktu dan baru akan selesai setelah pukul enam sore nanti. Setelah itu—aku tidak tahu apa aku bisa tetap waras. Bertahan 15 menit belakangan tanpa seorang pun yang bisa dihubungi saja rasanya aku nyaris gila. Namun akhirnya aku mengirim pesan untuknya dengan harapan Faris akan menghubungi kembali dengan cara apapun.
To: Faris
SOS. Need help. Telf gw bgtu lo baca ini.
*
      Dan lagi-lagi, di sinilah aku berakhir. Pieter’s Coffee. Lagipula di mana lagi aku bisa dan mungkin terdampar? Aku benar-benar pergi dari kampus segera setelah mengirimkan pesan itu pada Faris lalu berjalan luntang-lantung tak tentu arah sebelum berakhir di sini. Di meja kami, berjam-jam duduk dengan mata sembab dan bercangkir-cangkir café latte.
      Kedai ini nyaris kosong. Kursi-kursi mulai mulai dinaikkan, lampu sudah diredupkan, plang ‘we’re open’ di pintu sudah dibalik. Hanya ada dua orang waitress di dapur. Saat mereka menegurku bahwa mereka akan tutup, aku meminta agar mereka mengizinkanku tinggal hingga larut malam. Aku tahu itu hampir tidak mungkin karena mereka harus pulang. Tapi entahlah, sepertinya keadaanku saat ini cukup menyedihkan hingga bisa membuat mereka mengizinkanku di sini. Bisa kubayangkan apa yang mereka pikirkan tentang aku malam ini. Mereka pasti menyangka aku baru saja dicampakkan oleh kekasihku dan sedang dalam keadaan galau berat.
      Bagaimana jika itulah yang benar-benar terjadi? Pikiran itu seketika saja membuat mataku yang sudah kering kembali berkaca-kaca. Apa yang sedang Rayyan lakukan di sana? Siapakah yang sedang ada bersamanya? Mengapa ia me-reject telefonku begitu saja? Mengapa akhir-akhir ini kabar darinya menjadi barang mewah dan langka dengan harga yang tidak terjangkau? Bagaimana bisa keadaan berubah banyak tetapi sikapnya tidak?
      Aku menyurukkan wajah ke dalam lengan yang kulipat di atas meja, menahan tangis yang makin lama terasa bagai air bah yang dapat menjebol bendungan kapan saja. Aku tidak mau mengakui bahwa aku mulai hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Apalagi hanya karena Rayyan.
      Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan—yang mirip gedoran halus—di jendela kedai. Aku mendongak. Seorang pria berkacamata berdiri di hadapanku, di balik jendela. Aku mengusap air mata yang membuat pandanganku kabur. Wajahnya heran. Matanya yang bersinar seperti anak kecil memandangku penuh keingintahuan. Jantungku melonjak girang. Faris. Ia memasuki kedai dan menghampiriku dengan ekspresi panik yang kentara.
      Faris meraih wajahku dengan dua tangannya, menangkup pipiku dengan sentuhan halus. Tangannya hangat walaupun udara di luar sana sedikit berangin. Mata dibalik kacamatanya jelas sekali bertanya-tanya.
      “Lo kenapa?” Tanyanya lemah. “Handphone gue ketinggalan di apartemen temen gue dari kemaren malem, ini baru mau gue ambil, gue lewat sini, terus liat elo, lo—” Tuturnya setelah ia melepaskan tangannya dan duduk di hadapanku. Bukan di sisiku seperti biasa. Ia panik dan merasa bersalah. Tak diteruskannya kata-katanya. Ia seperti tahu bahwa aku mengirimkannya pesan darurat tadi siang.
      “Gue bisa balik ke Indonesia lebih cepet, Ris.” Aku menyodorkan kertas-kertas lembar jawaban ujianku ke bawah hidungnya. Ia membolak-baliknya dengan cepat lalu mengembalikannya.
      “Ayolah... Lo pasti masih bisa benerin ini, kan. Masih ada waktu, Bi.” Katanya.
      Aku menggeleng. “Gue kerja keras siang malem, lupa ini itu demi kuliah gue, demi beasiswa gue tapi kenapa malah gini coba?! Semuanya kayak percuma. Ini bukan tempat gue yang seharusnya.” Faris memandangku iba. “Gue capek, Faris. Luar dalem. Hidup dalam kecurigaan, was-was, ketakutan... Macem-macem skenario soal Rayyan muncul di kepala gue dan ngga kekontrol lagi. Gue ngga mau gini terus. Gue bisa gila...” Aku berkata dengan suara bergetar.
      “Gue mau pulang aja, Ris...” Ujarku membiarkan bulir-bulir air mata berderai kembali.
      Faris mendengus kesal. “Apa sih sebenernya yang lo coba buktiin? Lo ke sini buat apa? Demi siapa? Lo sampe ancur gini demi apa?”
      Aku tidak tahu apa jawabannya.
      Faris menggenggam pundakku pertanda simpati. “Lo ngga mungkin pulang dalam keadaan kayak gini. Lo ngga bisa ngebiarin mereka ngeliat lo begini.” Ia berkata dengan begitu halus. Hangat suaranya mengaliri tulang belakangku, menghentikan laju air bah dari pelupuk.
      Sadar atau tidak, yang kami lakukan enam bulan belakangan ini adalah saling menjajaki. Faris adalah kado yang dikirim Tuhan secara terselubung. Ia hadir di malam-malamku yang panjang dan hari-hariku yang lelah. Ia ada ketika kenyataan menamparku bertubi-tubi. Ia mengisi kekosongan yang hanya bisa diisi oleh seseorang seperti Rayyan. Dan lihatlah sekarang. Di mana Rayyan ketika kepingan diriku berserak seperti ini? Kapan Rayyan akan datang menghampiriku—walau hanya di alam maya—untuk membantuku menyatukan kembali kepingan-kepingan itu?
      Ketika seseorang seperti Faris datang ke dalam hidupmu dan hanya untukmu, apa lagi yang kau cari?
      Ya Tuhan... Salahkah ini? Salahkah pikiranku yang lama ingin berontak?
      Perlahan Faris menyeka sisa air mata di pipiku dengan jemarinya yang sama hangatnya. Jenis kehangatan yang sangat kurindu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan kehangatan dan keamanan seperti ini.
      “Udah, ya Bi, nangisnya. Jelek soalnya... gue ngga tahan liat lo jelek.” Ujarnya. Aku terkekeh kecil. Tawa pertamaku hari ini.
      Bagaimana jika aku meninggalkan Rayyan, mengubur dalam-dalam pahit manis selama empat tahun serta membuang jauh-jauh perasaanku yang menguat setiap hari? Sanggupkah aku melakukannya? Bisakah aku mencari penggantinya? Dan apakah Faris adalah orang yang tepat?
      Oh, hell it is. Toh, aku dan Rayyan tidak pernah mengarah lebih jauh.
      “Thanks,  Ris. Udah mau bertahan dengan hidup gue yang malang.” Ucapku seraya menggenggam tangannya di atas meja dengan santai. Entah dorongan macam apa yang mampu membuatku melakukannya. Aku mengawasi setipis apapun reaksinya. Faris terdiam sesaat, menatap tanganku kecilku yang berusaha menangkup tangannya yang lebih besar kemudian menarik tangannya kembali.
      “Sheila On 7. Norak lo, ah.” Aku tertawa mendengarnya. Tertawa lepas, memandang reaksinya  yang berubah canggung. Pantas saja, kami belum pernah melakukan kontak fisik apapun selain menjitak, menyikut, memukul dengan bercanda, dan sejenisnya.
      Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku meraihnya dari dalam tasku. Sebuah panggilan dari Rayyan. Seketika aku membatu lalu menatap Faris penuh arti. Ia mengangguk, mengizinkan aku menjawab telefon secara pribadi beberapa langkah dari meja kami.
      Dengan jari sedikit bergetar, aku mengangkatnya. Getaran perasaan bersalah, ujar akal sehatku.
      “Halo?” Ucapku setelah membersihkan tenggorokan yang agak parau.
      “Sayang?” Suara Rayyan terdengar amat jernih di seberang sana dan membuat getaran itu menjalar hingga jantung. “Maaf ya, Yang. Tadi lagi di luar... telefon kamu ngga sengaja ke-reject.
      “Ngga apa-apa, kok. Yang penting kamu telefon sekarang.” Ya, dan itu benar.
      “Suara kamu kenapa? Ngga abis nangis, kan?” Tanyanya. Nada suaranya sarat akan penyesalan dan kekhawatiran. Aku menggeleng walaupun ia tidak akan bisa melihatku.
      “Biasalah, hari ini agak sulit, Yang.”
      “Beneran udah ngga kenapa-kenapa?”
      “Bener... ngga usah khawatir. Aku aman di sini.”
      Hening sesaat. Aku hanya mendengar deru napasnya yang konstan.
      “Wish I was there, Honey...” ujar Rayyan lirih.
      Entah mengapa secara otomatis aku menoleh ke belakang, kepada Faris yang duduk tenang di seberang kursiku. Ia sedang memandang hujan yang mulai membasahi jendela. Sebelum ia sadar aku memandanginya, segera aku kembali pada Rayyan.
      “Aku juga. Aku kangen kita, Ray...”
      “Baik-baik di sana. Cepet pulang, ya Sayang...”
      Kalimat penutupnya yang tadi membuat pandanganku kembali mengabur. Perasaan bersalah yang amat dalam menderaku. Apa yang baru saja kulakukan?
      Berselingkuh secara mental, jawab suara kecil dan tegas dalam diriku. Bagaimana bisa aku melakukannya pada pria yang mengatakan bahwa ia menginginkanku pulang padanya?     
      Ada yang mencelos dalam dadaku. Kata-kata Rayyan dan nada suaranya yang sungguh-sungguh barusan mengobarkan kembali api yang baru saja mati.
      Aku menghela napas. Dalam dan panjang. Tak peduli apakah Faris adalah orang yang tepat atau tidak, perasaanku masih pada tempatnya. Pada Rayyan. Faris hanya penawar rasa sakit, hanya selingan, ternyata.
      Bagaimana jika akhirnya aku meninggalkan Rayyan? Ah, membayangkannya saja aku bergidik ngeri. Jika pun ruang dan waktu kami berbeda dan gelombang rindu menyergapku, rindu itu akan tetap kueja walau dengan terbata-bata. Seperti yang selalu terjadi.
*
Bandung, Indonesia, Oktober 2011
      Rayyan mengakhiri telefonnya lalu kembali memasuki mobilnya seraya membanting pintu. Kentara sekali bahwa ia sedang kesal. Ia mencengkeram kemudi mobil erat-erat, seolah menahan diri agar tidak memukul kaca hingga pecah. Indira menatapnya tajam dari kursi depan penumpang.
      “Kamu ngapain sih, Dir tadi pagi?” Rayyan berkata dengan nada tinggi.
      “Apa? Nge-reject telefon pacar kamu?” Indira membalasnya dengan menekan kata pacar, setengah mengejek. “Itu salah? Oh iya, harusnya aku angkat aja telefonnya ya, bilang sekalian bahwa ngga ada gunanya lagi nelefon Rayyan sekarang. Biar ngga usah dia buang-buang uang nelefon kamu jauh-jauh dari New York cuman buat basa-basi atau omong kosong semacam I-miss-you-I-miss-you-too. Apa itu kayak basa-basi? Kayaknya lebih mirip omong kosong. Tapi lebih omong kosong lagi aku, ya, Ray. Setengah taun diiming-imingi kebebasan. Apalah kita ini. Ngga bisa punya hak dan keistimewaan apa-apa.”
      Mendengarnya Rayyan menghela napas berat. “Ini bukan mau aku, Dira...” Ujar Rayyan lemah. Indira menunggu kata-kata selanjutnya namun kalimatnya menggantung sampai di situ.
      “Terus mau kamu apa?” Pertanyaan Indira sungguh terkesan menantang.
      Rayyan tampak sangat ingin menjawab dengan lantang dan mantap, dan membeberkan semua kebenaran yang tersisa. Namun tidak ada sepatah katapun yang berhasil lolos dari kerongkongannya. Permainan inilah satu-satunya jawaban yang ia pilihkan untuk pertanyaan Indira.
      Kini ia terjebak dalam labirin yang ia buat sendiri. 

0 comments: