Mengeja Rindu part II

10:34 pm nat 0 Comments

      Aku memandang berkeliling kelas News Service yang mulai kosong hampir pukul 8 malam itu. Setelah hasil tes minggu lalu dibagikan aku ragu apakah aku akan tetap tinggal di sini hingga akhir tahun. Dengan ekor mata, aku melihat huruf D besar dengan tinta merah di ujung kanan atas lembar jawaban itu. Juga di lembar-lembar berikutnya yang huruf merahnya hanya C dan D. Aku meringis. Kubalikkan kertas-kertas itu di atas meja. Ini akan jadi surat perintah kepulanganku ke Indonesia. Dan beasiswaku terancam dicabut.
      Ketika seorang gadis berkulit gelap melintasiku untuk keluar kelas, buru-buru aku menyusut air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Kuraih ponselku dan menekan tombol speed dial 2. Rayyan. Hanya ia yang langsung muncul di kepalaku saat ini. Terdengar nada sambung beberapa detik sebelum sambungan akhirnya diputus dari sana. Sial. Rayyan me-reject telefonku. Air mataku menderas.
      Terlalu buruk. Sebuah horor di awal minggu. Masih tiga hari sebelum Faris bisa sepenuhnya kutemui. Jika tidak kuliah, saat ini Faris pasti sedang berada di penyewaan DVD tempatnya bekerja paruh waktu dan baru akan selesai setelah pukul enam sore nanti. Setelah itu—aku tidak tahu apa aku bisa tetap waras. Bertahan 15 menit belakangan tanpa seorang pun yang bisa dihubungi saja rasanya aku nyaris gila. Namun akhirnya aku mengirim pesan untuknya dengan harapan Faris akan menghubungi kembali dengan cara apapun.
To: Faris
SOS. Need help. Telf gw bgtu lo baca ini.
*
      Dan lagi-lagi, di sinilah aku berakhir. Pieter’s Coffee. Lagipula di mana lagi aku bisa dan mungkin terdampar? Aku benar-benar pergi dari kampus segera setelah mengirimkan pesan itu pada Faris lalu berjalan luntang-lantung tak tentu arah sebelum berakhir di sini. Di meja kami, berjam-jam duduk dengan mata sembab dan bercangkir-cangkir café latte.
      Kedai ini nyaris kosong. Kursi-kursi mulai mulai dinaikkan, lampu sudah diredupkan, plang ‘we’re open’ di pintu sudah dibalik. Hanya ada dua orang waitress di dapur. Saat mereka menegurku bahwa mereka akan tutup, aku meminta agar mereka mengizinkanku tinggal hingga larut malam. Aku tahu itu hampir tidak mungkin karena mereka harus pulang. Tapi entahlah, sepertinya keadaanku saat ini cukup menyedihkan hingga bisa membuat mereka mengizinkanku di sini. Bisa kubayangkan apa yang mereka pikirkan tentang aku malam ini. Mereka pasti menyangka aku baru saja dicampakkan oleh kekasihku dan sedang dalam keadaan galau berat.
      Bagaimana jika itulah yang benar-benar terjadi? Pikiran itu seketika saja membuat mataku yang sudah kering kembali berkaca-kaca. Apa yang sedang Rayyan lakukan di sana? Siapakah yang sedang ada bersamanya? Mengapa ia me-reject telefonku begitu saja? Mengapa akhir-akhir ini kabar darinya menjadi barang mewah dan langka dengan harga yang tidak terjangkau? Bagaimana bisa keadaan berubah banyak tetapi sikapnya tidak?
      Aku menyurukkan wajah ke dalam lengan yang kulipat di atas meja, menahan tangis yang makin lama terasa bagai air bah yang dapat menjebol bendungan kapan saja. Aku tidak mau mengakui bahwa aku mulai hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Apalagi hanya karena Rayyan.
      Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan—yang mirip gedoran halus—di jendela kedai. Aku mendongak. Seorang pria berkacamata berdiri di hadapanku, di balik jendela. Aku mengusap air mata yang membuat pandanganku kabur. Wajahnya heran. Matanya yang bersinar seperti anak kecil memandangku penuh keingintahuan. Jantungku melonjak girang. Faris. Ia memasuki kedai dan menghampiriku dengan ekspresi panik yang kentara.
      Faris meraih wajahku dengan dua tangannya, menangkup pipiku dengan sentuhan halus. Tangannya hangat walaupun udara di luar sana sedikit berangin. Mata dibalik kacamatanya jelas sekali bertanya-tanya.
      “Lo kenapa?” Tanyanya lemah. “Handphone gue ketinggalan di apartemen temen gue dari kemaren malem, ini baru mau gue ambil, gue lewat sini, terus liat elo, lo—” Tuturnya setelah ia melepaskan tangannya dan duduk di hadapanku. Bukan di sisiku seperti biasa. Ia panik dan merasa bersalah. Tak diteruskannya kata-katanya. Ia seperti tahu bahwa aku mengirimkannya pesan darurat tadi siang.
      “Gue bisa balik ke Indonesia lebih cepet, Ris.” Aku menyodorkan kertas-kertas lembar jawaban ujianku ke bawah hidungnya. Ia membolak-baliknya dengan cepat lalu mengembalikannya.
      “Ayolah... Lo pasti masih bisa benerin ini, kan. Masih ada waktu, Bi.” Katanya.
      Aku menggeleng. “Gue kerja keras siang malem, lupa ini itu demi kuliah gue, demi beasiswa gue tapi kenapa malah gini coba?! Semuanya kayak percuma. Ini bukan tempat gue yang seharusnya.” Faris memandangku iba. “Gue capek, Faris. Luar dalem. Hidup dalam kecurigaan, was-was, ketakutan... Macem-macem skenario soal Rayyan muncul di kepala gue dan ngga kekontrol lagi. Gue ngga mau gini terus. Gue bisa gila...” Aku berkata dengan suara bergetar.
      “Gue mau pulang aja, Ris...” Ujarku membiarkan bulir-bulir air mata berderai kembali.
      Faris mendengus kesal. “Apa sih sebenernya yang lo coba buktiin? Lo ke sini buat apa? Demi siapa? Lo sampe ancur gini demi apa?”
      Aku tidak tahu apa jawabannya.
      Faris menggenggam pundakku pertanda simpati. “Lo ngga mungkin pulang dalam keadaan kayak gini. Lo ngga bisa ngebiarin mereka ngeliat lo begini.” Ia berkata dengan begitu halus. Hangat suaranya mengaliri tulang belakangku, menghentikan laju air bah dari pelupuk.
      Sadar atau tidak, yang kami lakukan enam bulan belakangan ini adalah saling menjajaki. Faris adalah kado yang dikirim Tuhan secara terselubung. Ia hadir di malam-malamku yang panjang dan hari-hariku yang lelah. Ia ada ketika kenyataan menamparku bertubi-tubi. Ia mengisi kekosongan yang hanya bisa diisi oleh seseorang seperti Rayyan. Dan lihatlah sekarang. Di mana Rayyan ketika kepingan diriku berserak seperti ini? Kapan Rayyan akan datang menghampiriku—walau hanya di alam maya—untuk membantuku menyatukan kembali kepingan-kepingan itu?
      Ketika seseorang seperti Faris datang ke dalam hidupmu dan hanya untukmu, apa lagi yang kau cari?
      Ya Tuhan... Salahkah ini? Salahkah pikiranku yang lama ingin berontak?
      Perlahan Faris menyeka sisa air mata di pipiku dengan jemarinya yang sama hangatnya. Jenis kehangatan yang sangat kurindu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan kehangatan dan keamanan seperti ini.
      “Udah, ya Bi, nangisnya. Jelek soalnya... gue ngga tahan liat lo jelek.” Ujarnya. Aku terkekeh kecil. Tawa pertamaku hari ini.
      Bagaimana jika aku meninggalkan Rayyan, mengubur dalam-dalam pahit manis selama empat tahun serta membuang jauh-jauh perasaanku yang menguat setiap hari? Sanggupkah aku melakukannya? Bisakah aku mencari penggantinya? Dan apakah Faris adalah orang yang tepat?
      Oh, hell it is. Toh, aku dan Rayyan tidak pernah mengarah lebih jauh.
      “Thanks,  Ris. Udah mau bertahan dengan hidup gue yang malang.” Ucapku seraya menggenggam tangannya di atas meja dengan santai. Entah dorongan macam apa yang mampu membuatku melakukannya. Aku mengawasi setipis apapun reaksinya. Faris terdiam sesaat, menatap tanganku kecilku yang berusaha menangkup tangannya yang lebih besar kemudian menarik tangannya kembali.
      “Sheila On 7. Norak lo, ah.” Aku tertawa mendengarnya. Tertawa lepas, memandang reaksinya  yang berubah canggung. Pantas saja, kami belum pernah melakukan kontak fisik apapun selain menjitak, menyikut, memukul dengan bercanda, dan sejenisnya.
      Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku meraihnya dari dalam tasku. Sebuah panggilan dari Rayyan. Seketika aku membatu lalu menatap Faris penuh arti. Ia mengangguk, mengizinkan aku menjawab telefon secara pribadi beberapa langkah dari meja kami.
      Dengan jari sedikit bergetar, aku mengangkatnya. Getaran perasaan bersalah, ujar akal sehatku.
      “Halo?” Ucapku setelah membersihkan tenggorokan yang agak parau.
      “Sayang?” Suara Rayyan terdengar amat jernih di seberang sana dan membuat getaran itu menjalar hingga jantung. “Maaf ya, Yang. Tadi lagi di luar... telefon kamu ngga sengaja ke-reject.
      “Ngga apa-apa, kok. Yang penting kamu telefon sekarang.” Ya, dan itu benar.
      “Suara kamu kenapa? Ngga abis nangis, kan?” Tanyanya. Nada suaranya sarat akan penyesalan dan kekhawatiran. Aku menggeleng walaupun ia tidak akan bisa melihatku.
      “Biasalah, hari ini agak sulit, Yang.”
      “Beneran udah ngga kenapa-kenapa?”
      “Bener... ngga usah khawatir. Aku aman di sini.”
      Hening sesaat. Aku hanya mendengar deru napasnya yang konstan.
      “Wish I was there, Honey...” ujar Rayyan lirih.
      Entah mengapa secara otomatis aku menoleh ke belakang, kepada Faris yang duduk tenang di seberang kursiku. Ia sedang memandang hujan yang mulai membasahi jendela. Sebelum ia sadar aku memandanginya, segera aku kembali pada Rayyan.
      “Aku juga. Aku kangen kita, Ray...”
      “Baik-baik di sana. Cepet pulang, ya Sayang...”
      Kalimat penutupnya yang tadi membuat pandanganku kembali mengabur. Perasaan bersalah yang amat dalam menderaku. Apa yang baru saja kulakukan?
      Berselingkuh secara mental, jawab suara kecil dan tegas dalam diriku. Bagaimana bisa aku melakukannya pada pria yang mengatakan bahwa ia menginginkanku pulang padanya?     
      Ada yang mencelos dalam dadaku. Kata-kata Rayyan dan nada suaranya yang sungguh-sungguh barusan mengobarkan kembali api yang baru saja mati.
      Aku menghela napas. Dalam dan panjang. Tak peduli apakah Faris adalah orang yang tepat atau tidak, perasaanku masih pada tempatnya. Pada Rayyan. Faris hanya penawar rasa sakit, hanya selingan, ternyata.
      Bagaimana jika akhirnya aku meninggalkan Rayyan? Ah, membayangkannya saja aku bergidik ngeri. Jika pun ruang dan waktu kami berbeda dan gelombang rindu menyergapku, rindu itu akan tetap kueja walau dengan terbata-bata. Seperti yang selalu terjadi.
*
Bandung, Indonesia, Oktober 2011
      Rayyan mengakhiri telefonnya lalu kembali memasuki mobilnya seraya membanting pintu. Kentara sekali bahwa ia sedang kesal. Ia mencengkeram kemudi mobil erat-erat, seolah menahan diri agar tidak memukul kaca hingga pecah. Indira menatapnya tajam dari kursi depan penumpang.
      “Kamu ngapain sih, Dir tadi pagi?” Rayyan berkata dengan nada tinggi.
      “Apa? Nge-reject telefon pacar kamu?” Indira membalasnya dengan menekan kata pacar, setengah mengejek. “Itu salah? Oh iya, harusnya aku angkat aja telefonnya ya, bilang sekalian bahwa ngga ada gunanya lagi nelefon Rayyan sekarang. Biar ngga usah dia buang-buang uang nelefon kamu jauh-jauh dari New York cuman buat basa-basi atau omong kosong semacam I-miss-you-I-miss-you-too. Apa itu kayak basa-basi? Kayaknya lebih mirip omong kosong. Tapi lebih omong kosong lagi aku, ya, Ray. Setengah taun diiming-imingi kebebasan. Apalah kita ini. Ngga bisa punya hak dan keistimewaan apa-apa.”
      Mendengarnya Rayyan menghela napas berat. “Ini bukan mau aku, Dira...” Ujar Rayyan lemah. Indira menunggu kata-kata selanjutnya namun kalimatnya menggantung sampai di situ.
      “Terus mau kamu apa?” Pertanyaan Indira sungguh terkesan menantang.
      Rayyan tampak sangat ingin menjawab dengan lantang dan mantap, dan membeberkan semua kebenaran yang tersisa. Namun tidak ada sepatah katapun yang berhasil lolos dari kerongkongannya. Permainan inilah satu-satunya jawaban yang ia pilihkan untuk pertanyaan Indira.
      Kini ia terjebak dalam labirin yang ia buat sendiri. 

You Might Also Like

0 comments: