Mengeja Rindu part II

10:34 pm nat 0 Comments

      Aku memandang berkeliling kelas News Service yang mulai kosong hampir pukul 8 malam itu. Setelah hasil tes minggu lalu dibagikan aku ragu apakah aku akan tetap tinggal di sini hingga akhir tahun. Dengan ekor mata, aku melihat huruf D besar dengan tinta merah di ujung kanan atas lembar jawaban itu. Juga di lembar-lembar berikutnya yang huruf merahnya hanya C dan D. Aku meringis. Kubalikkan kertas-kertas itu di atas meja. Ini akan jadi surat perintah kepulanganku ke Indonesia. Dan beasiswaku terancam dicabut.
      Ketika seorang gadis berkulit gelap melintasiku untuk keluar kelas, buru-buru aku menyusut air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Kuraih ponselku dan menekan tombol speed dial 2. Rayyan. Hanya ia yang langsung muncul di kepalaku saat ini. Terdengar nada sambung beberapa detik sebelum sambungan akhirnya diputus dari sana. Sial. Rayyan me-reject telefonku. Air mataku menderas.
      Terlalu buruk. Sebuah horor di awal minggu. Masih tiga hari sebelum Faris bisa sepenuhnya kutemui. Jika tidak kuliah, saat ini Faris pasti sedang berada di penyewaan DVD tempatnya bekerja paruh waktu dan baru akan selesai setelah pukul enam sore nanti. Setelah itu—aku tidak tahu apa aku bisa tetap waras. Bertahan 15 menit belakangan tanpa seorang pun yang bisa dihubungi saja rasanya aku nyaris gila. Namun akhirnya aku mengirim pesan untuknya dengan harapan Faris akan menghubungi kembali dengan cara apapun.
To: Faris
SOS. Need help. Telf gw bgtu lo baca ini.
*
      Dan lagi-lagi, di sinilah aku berakhir. Pieter’s Coffee. Lagipula di mana lagi aku bisa dan mungkin terdampar? Aku benar-benar pergi dari kampus segera setelah mengirimkan pesan itu pada Faris lalu berjalan luntang-lantung tak tentu arah sebelum berakhir di sini. Di meja kami, berjam-jam duduk dengan mata sembab dan bercangkir-cangkir café latte.
      Kedai ini nyaris kosong. Kursi-kursi mulai mulai dinaikkan, lampu sudah diredupkan, plang ‘we’re open’ di pintu sudah dibalik. Hanya ada dua orang waitress di dapur. Saat mereka menegurku bahwa mereka akan tutup, aku meminta agar mereka mengizinkanku tinggal hingga larut malam. Aku tahu itu hampir tidak mungkin karena mereka harus pulang. Tapi entahlah, sepertinya keadaanku saat ini cukup menyedihkan hingga bisa membuat mereka mengizinkanku di sini. Bisa kubayangkan apa yang mereka pikirkan tentang aku malam ini. Mereka pasti menyangka aku baru saja dicampakkan oleh kekasihku dan sedang dalam keadaan galau berat.
      Bagaimana jika itulah yang benar-benar terjadi? Pikiran itu seketika saja membuat mataku yang sudah kering kembali berkaca-kaca. Apa yang sedang Rayyan lakukan di sana? Siapakah yang sedang ada bersamanya? Mengapa ia me-reject telefonku begitu saja? Mengapa akhir-akhir ini kabar darinya menjadi barang mewah dan langka dengan harga yang tidak terjangkau? Bagaimana bisa keadaan berubah banyak tetapi sikapnya tidak?
      Aku menyurukkan wajah ke dalam lengan yang kulipat di atas meja, menahan tangis yang makin lama terasa bagai air bah yang dapat menjebol bendungan kapan saja. Aku tidak mau mengakui bahwa aku mulai hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. Apalagi hanya karena Rayyan.
      Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan—yang mirip gedoran halus—di jendela kedai. Aku mendongak. Seorang pria berkacamata berdiri di hadapanku, di balik jendela. Aku mengusap air mata yang membuat pandanganku kabur. Wajahnya heran. Matanya yang bersinar seperti anak kecil memandangku penuh keingintahuan. Jantungku melonjak girang. Faris. Ia memasuki kedai dan menghampiriku dengan ekspresi panik yang kentara.
      Faris meraih wajahku dengan dua tangannya, menangkup pipiku dengan sentuhan halus. Tangannya hangat walaupun udara di luar sana sedikit berangin. Mata dibalik kacamatanya jelas sekali bertanya-tanya.
      “Lo kenapa?” Tanyanya lemah. “Handphone gue ketinggalan di apartemen temen gue dari kemaren malem, ini baru mau gue ambil, gue lewat sini, terus liat elo, lo—” Tuturnya setelah ia melepaskan tangannya dan duduk di hadapanku. Bukan di sisiku seperti biasa. Ia panik dan merasa bersalah. Tak diteruskannya kata-katanya. Ia seperti tahu bahwa aku mengirimkannya pesan darurat tadi siang.
      “Gue bisa balik ke Indonesia lebih cepet, Ris.” Aku menyodorkan kertas-kertas lembar jawaban ujianku ke bawah hidungnya. Ia membolak-baliknya dengan cepat lalu mengembalikannya.
      “Ayolah... Lo pasti masih bisa benerin ini, kan. Masih ada waktu, Bi.” Katanya.
      Aku menggeleng. “Gue kerja keras siang malem, lupa ini itu demi kuliah gue, demi beasiswa gue tapi kenapa malah gini coba?! Semuanya kayak percuma. Ini bukan tempat gue yang seharusnya.” Faris memandangku iba. “Gue capek, Faris. Luar dalem. Hidup dalam kecurigaan, was-was, ketakutan... Macem-macem skenario soal Rayyan muncul di kepala gue dan ngga kekontrol lagi. Gue ngga mau gini terus. Gue bisa gila...” Aku berkata dengan suara bergetar.
      “Gue mau pulang aja, Ris...” Ujarku membiarkan bulir-bulir air mata berderai kembali.
      Faris mendengus kesal. “Apa sih sebenernya yang lo coba buktiin? Lo ke sini buat apa? Demi siapa? Lo sampe ancur gini demi apa?”
      Aku tidak tahu apa jawabannya.
      Faris menggenggam pundakku pertanda simpati. “Lo ngga mungkin pulang dalam keadaan kayak gini. Lo ngga bisa ngebiarin mereka ngeliat lo begini.” Ia berkata dengan begitu halus. Hangat suaranya mengaliri tulang belakangku, menghentikan laju air bah dari pelupuk.
      Sadar atau tidak, yang kami lakukan enam bulan belakangan ini adalah saling menjajaki. Faris adalah kado yang dikirim Tuhan secara terselubung. Ia hadir di malam-malamku yang panjang dan hari-hariku yang lelah. Ia ada ketika kenyataan menamparku bertubi-tubi. Ia mengisi kekosongan yang hanya bisa diisi oleh seseorang seperti Rayyan. Dan lihatlah sekarang. Di mana Rayyan ketika kepingan diriku berserak seperti ini? Kapan Rayyan akan datang menghampiriku—walau hanya di alam maya—untuk membantuku menyatukan kembali kepingan-kepingan itu?
      Ketika seseorang seperti Faris datang ke dalam hidupmu dan hanya untukmu, apa lagi yang kau cari?
      Ya Tuhan... Salahkah ini? Salahkah pikiranku yang lama ingin berontak?
      Perlahan Faris menyeka sisa air mata di pipiku dengan jemarinya yang sama hangatnya. Jenis kehangatan yang sangat kurindu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasakan kehangatan dan keamanan seperti ini.
      “Udah, ya Bi, nangisnya. Jelek soalnya... gue ngga tahan liat lo jelek.” Ujarnya. Aku terkekeh kecil. Tawa pertamaku hari ini.
      Bagaimana jika aku meninggalkan Rayyan, mengubur dalam-dalam pahit manis selama empat tahun serta membuang jauh-jauh perasaanku yang menguat setiap hari? Sanggupkah aku melakukannya? Bisakah aku mencari penggantinya? Dan apakah Faris adalah orang yang tepat?
      Oh, hell it is. Toh, aku dan Rayyan tidak pernah mengarah lebih jauh.
      “Thanks,  Ris. Udah mau bertahan dengan hidup gue yang malang.” Ucapku seraya menggenggam tangannya di atas meja dengan santai. Entah dorongan macam apa yang mampu membuatku melakukannya. Aku mengawasi setipis apapun reaksinya. Faris terdiam sesaat, menatap tanganku kecilku yang berusaha menangkup tangannya yang lebih besar kemudian menarik tangannya kembali.
      “Sheila On 7. Norak lo, ah.” Aku tertawa mendengarnya. Tertawa lepas, memandang reaksinya  yang berubah canggung. Pantas saja, kami belum pernah melakukan kontak fisik apapun selain menjitak, menyikut, memukul dengan bercanda, dan sejenisnya.
      Tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku meraihnya dari dalam tasku. Sebuah panggilan dari Rayyan. Seketika aku membatu lalu menatap Faris penuh arti. Ia mengangguk, mengizinkan aku menjawab telefon secara pribadi beberapa langkah dari meja kami.
      Dengan jari sedikit bergetar, aku mengangkatnya. Getaran perasaan bersalah, ujar akal sehatku.
      “Halo?” Ucapku setelah membersihkan tenggorokan yang agak parau.
      “Sayang?” Suara Rayyan terdengar amat jernih di seberang sana dan membuat getaran itu menjalar hingga jantung. “Maaf ya, Yang. Tadi lagi di luar... telefon kamu ngga sengaja ke-reject.
      “Ngga apa-apa, kok. Yang penting kamu telefon sekarang.” Ya, dan itu benar.
      “Suara kamu kenapa? Ngga abis nangis, kan?” Tanyanya. Nada suaranya sarat akan penyesalan dan kekhawatiran. Aku menggeleng walaupun ia tidak akan bisa melihatku.
      “Biasalah, hari ini agak sulit, Yang.”
      “Beneran udah ngga kenapa-kenapa?”
      “Bener... ngga usah khawatir. Aku aman di sini.”
      Hening sesaat. Aku hanya mendengar deru napasnya yang konstan.
      “Wish I was there, Honey...” ujar Rayyan lirih.
      Entah mengapa secara otomatis aku menoleh ke belakang, kepada Faris yang duduk tenang di seberang kursiku. Ia sedang memandang hujan yang mulai membasahi jendela. Sebelum ia sadar aku memandanginya, segera aku kembali pada Rayyan.
      “Aku juga. Aku kangen kita, Ray...”
      “Baik-baik di sana. Cepet pulang, ya Sayang...”
      Kalimat penutupnya yang tadi membuat pandanganku kembali mengabur. Perasaan bersalah yang amat dalam menderaku. Apa yang baru saja kulakukan?
      Berselingkuh secara mental, jawab suara kecil dan tegas dalam diriku. Bagaimana bisa aku melakukannya pada pria yang mengatakan bahwa ia menginginkanku pulang padanya?     
      Ada yang mencelos dalam dadaku. Kata-kata Rayyan dan nada suaranya yang sungguh-sungguh barusan mengobarkan kembali api yang baru saja mati.
      Aku menghela napas. Dalam dan panjang. Tak peduli apakah Faris adalah orang yang tepat atau tidak, perasaanku masih pada tempatnya. Pada Rayyan. Faris hanya penawar rasa sakit, hanya selingan, ternyata.
      Bagaimana jika akhirnya aku meninggalkan Rayyan? Ah, membayangkannya saja aku bergidik ngeri. Jika pun ruang dan waktu kami berbeda dan gelombang rindu menyergapku, rindu itu akan tetap kueja walau dengan terbata-bata. Seperti yang selalu terjadi.
*
Bandung, Indonesia, Oktober 2011
      Rayyan mengakhiri telefonnya lalu kembali memasuki mobilnya seraya membanting pintu. Kentara sekali bahwa ia sedang kesal. Ia mencengkeram kemudi mobil erat-erat, seolah menahan diri agar tidak memukul kaca hingga pecah. Indira menatapnya tajam dari kursi depan penumpang.
      “Kamu ngapain sih, Dir tadi pagi?” Rayyan berkata dengan nada tinggi.
      “Apa? Nge-reject telefon pacar kamu?” Indira membalasnya dengan menekan kata pacar, setengah mengejek. “Itu salah? Oh iya, harusnya aku angkat aja telefonnya ya, bilang sekalian bahwa ngga ada gunanya lagi nelefon Rayyan sekarang. Biar ngga usah dia buang-buang uang nelefon kamu jauh-jauh dari New York cuman buat basa-basi atau omong kosong semacam I-miss-you-I-miss-you-too. Apa itu kayak basa-basi? Kayaknya lebih mirip omong kosong. Tapi lebih omong kosong lagi aku, ya, Ray. Setengah taun diiming-imingi kebebasan. Apalah kita ini. Ngga bisa punya hak dan keistimewaan apa-apa.”
      Mendengarnya Rayyan menghela napas berat. “Ini bukan mau aku, Dira...” Ujar Rayyan lemah. Indira menunggu kata-kata selanjutnya namun kalimatnya menggantung sampai di situ.
      “Terus mau kamu apa?” Pertanyaan Indira sungguh terkesan menantang.
      Rayyan tampak sangat ingin menjawab dengan lantang dan mantap, dan membeberkan semua kebenaran yang tersisa. Namun tidak ada sepatah katapun yang berhasil lolos dari kerongkongannya. Permainan inilah satu-satunya jawaban yang ia pilihkan untuk pertanyaan Indira.
      Kini ia terjebak dalam labirin yang ia buat sendiri. 

0 comments:

Kita Adalah Perbedaan

6:39 pm nat 0 Comments

Jika begitulah bagaimana alam semesta mendefinisikan aku dan kamu, lalu mengapa kita harus mengambil apa yang kita sebut dengan ‘jalan tengah’ ketika kita tidak lagi bisa sejalan?
Jalan yang kamu ambil sesungguhnya tidaklah berada di tengah. Jalan itu ada di pinggir. Dan kamu memaksa agar kita menepi.
Agar kita kembali ke jalan masing-masing, tanpa satu sama lain seperti dulu.
Agar aku menghabisi apa yang menjadi energi dan harapan-harapan besarku.
Tidak bisakah kita kembali ke pangkal jalan di mana kita mulai berjalan bersama di tengah dengan jari saling bertaut untuk menapaki jalan menuju pelabuhan ini?
Tidak bisakah kita bersikap seolah perbedaan hanya sekedar kerikil halus di tengah jalan? 

0 comments:

Looklet Dihapus?!

5:51 pm nat 0 Comments

Yes.
Looklet has been erased by January 31st.
Sayang banget ya, ngga ada lagi sarana bagi saya buat nyalurin nafsu fashion yang di dunia nyata ngga bisa tersalurkan.
Memang beberapa bulan belakangan Looklet masih meng-update koleksinya, tapi mereka nga meng-update magazine, editor’s pick, dan ngga ngadain styling contest lagi. Pas saya log in looklet kira-kira pertengahan Desember lalu, mereka ngumumin penutupan Looklet di header web mereka dengan font merah.
Sekali lagi sangat disayangkan : (
Ini masterpiece saya selama beberapa tahun bergabung di Looklet.





I really looking forward to their awakening...

0 comments:

Adalah Cinta

5:39 pm nat 0 Comments

Bagiku cinta adalah ramai, adalah ingar bingar
Adalah kilau kebanggaan
Adalah semarak pesona
Adalah hadir dan dekap
Adalah besar dan riang
Adalah api yang panasnya menerangi
Adalah air yang beningnya menghanyutkan

Sedang bagimu cinta adalah diam, adalah segenap senyap
Adalah remang kedamaian
Adalah renung dalam sepi
Adalah pendar dan dekat
Adalah sederhana dan tenang
Adalah api yang hangatnya menjalari
Adalah air yang beningnya membimbing

Dan adalah cinta juga yang akhirnya menjelaskan kita

Februari 2012

0 comments:

Mengeja Rindu

5:13 pm nat 0 Comments

Manhattan, NYC, musim gugur 2011

From      : rayyansm@live.com
To        : imbianca@yahoo.com
Subject   : Re: missing you
Sent      : Oct, 5 2011 12:06 AM
Maaf sayang, baru bales e-mail. Baru bisa buka laptop lagi. Kemaren hectic banget di kampus. Ini malah baru nyampe rumah lagi, abis dari studio.

I’m ok. Are you ok there? Do the big apple be nice to you?

      Dan begitu saja. Seperti yang selalu dia lakukan. Padahal aku mengatakan cukup banyak hal di e-mail-ku kemarin sore. Aku mengharapkan ia melakukan hal yang sama, menceritakan setidaknya bagaimana kuliah Tata Kotanya, bagaimana perkembangan lagu yang sedang ia garap dengan band akustik-nya, bagaimana dua adik kembarnya mengganggunya seharian, bagaimana makan siangnya di Portico tanpa aku, bagaimana ia merindukan aku... Ya, terutama bagaimana ia memikirkan aku setiap malam sebelum tidur dan selalu ingin aku pulang tiap akhir pekan.
      Harusnya mendapat respon seperti ini saja aku sudah semestinya terbiasa merasa cukup. Ketika dia hanya mengirimiku e-mail pukul enam pagi waktu New York bertuliskan ‘good morning, honey’ dengan kurung buka siku dan angka tiga saja aku bisa tersenyum seharian. Enam bulan belakangan, aku sudah berhenti mengharapkan SMS-nya sepuluh menit sekali, telefon paginya yang wajib, dan telefon malam yang rutin. Selain karena kami telah berbeda ruang dan waktu, kesibukanku di kampus yang baru juga membuatku sulit melirik ponsel setiap lima menit sekali seperti yang dulu kulakukan.
      Semuanya berubah sejak aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di New York University dan terpaksa meninggalkan Rayyan di Bandung.
      Ponselku bergetar di sebelah laptop dia atas meja belajarku. Ada sebuah pesan singkat.
From: Faris
Liat ke jendela.
      Dengan dahi berkerut aku melongok keluar jendela tepat di samping tempat tidurku. Seorang pria berjaket gelap melambaikan tangannya tinggi-tinggi ke arah jendela kamarku. Aku tersenyum geli. Segera aku menyambar tas bahuku dan sweater cashmere merah marun dari sandaran single sofa di sudut ruangan kemudian bergegas mengunci pintu dan berlari ke bawah.
      Faris adalah teman baruku. Aku mengenalnya sebulan setelah pindah ke sini. Saat itu aku masih belum menemukan teman akrab karena tidak banyak mahasiswa Indonesia di kampusku. Flat tempat tinggalku juga hanya dihuni oleh dua orang mahasiswa S3 yang sudah separuh baya. Jadi sulit mencari teman untuk sekedar minum kopi sepulang kuliah apalagi untuk bersenang-senang keliling kota tiap akhir pekan. Hingga datanglah aku ke perkumpulan mahasiswa Indonesia New York dan bertemu Faris dalam perjalanan ke rumah salah seorang mahasiswa asal Jakarta yang mengadakan acara bulanan itu.
      Saat itu Faris bagaikan superhero. Dengan polos—atau bodohnya—aku tersasar hingga beberapa blok jauhnya alih-alih berhenti di perhentian bus yang seharusnya. Aku berpikir untuk kembali ke perhentian bus sebelumnya lalu membaca papan rute bus di trotoar jalan.
       Aku mendekatkan wajahku untuk membaca tulisan yang malang melintang dan tidak berbaris. “Ini sih, benang layangan kusut.” Aku bergumam ketika telunjukku menelusuri sebuah garis merah.
      “Orang yang berhasil naik bis sampe tujuan pasti orang gila, nih.” Lanjutku.
      “Kalo gitu gue gila, dong?” Ujar seseorang tepat di sebelahku. Pria itu juga sedang mengamati papan yang sama melalui kacamata berbingkai kotaknya. Dengan agak terkejut aku menoleh ke arahnya. Ia tersenyum. Amat manis dan bersahabat.
      “Lo pasti gila.” Tuturku datar. Sekarang ia tertawa.
      “Mau ke Lower West Side?” Tanyanya. Aku mengangguk dan mengatakan soal acara itu.
      Ia lalu melanjutkan. “Nah, abis ini lo pasti gila.” Tanpa disangka-sangka ia menarik tanganku dan berlari beberapa meter sampai ke sebuah persimpangan jalan di mana taksi-taksi berwarna kuning berjajar. Dan begitulah bagaimana aku akhirnya hidup seperti dalam puluhan chicklit yang kubaca. Tidak bersama tiga atau empat orang gadis lajang, memang. Tidak pula masuk ke outlet-outlet desainer ternama dan keluar dengan tas kertas fancy bertuliskan Emporio Armani atau berjalan di SoHo memakai sepatu boots dan gaun musim panas. Tapi aku bahagia.
      Aku dan Faris bertemu setiap akhir pekan. Kami biasa makan siang atau makan malam bersama di restoran Italia atau di restoran khas Indonesia—satu-satunya restoran Indonesia yang kami temukan di New York City. Jika tidak makan bersama, kami biasanya akan membeli muffin bluberi dan kopi dari sebuah kedai kopi lalu berjalan-jalan di sekitar kampusnya. Atau seperti beberapa hari lalu, secara mengejutkan Faris menemuiku di perpustakaan kampus seusai kelas terakhirku lalu mengajakku piknik di Central Park. Ajakan-ajakannya selalu out of the box sekaligus juga out of the blue.
      Juga kali ini. Aku tidak ingat Faris menelepon atau mengirim SMS untuk mengajakku keluar siang ini. Yang kuingat rencana kami minggu ini hanyalah berburu objek foto di Central Park untuk mencoba kamera DSLR barunya. Itu pun masih dua hari lagi. Sepanjang jalan menuju lantai satu aku nyaris menuruni tangga dengan melompat-lompat sembari terus bertanya-tanya ke mana kami akan pergi siang ini. Lalu Faris menyambutku dengan senyum lebar dan auranya yang selalu ceria.
      “Ke mana hari ini?” Tanyaku dengan senyum lebar begitu aku sampai dan langsung berjalan ke arah Pieter’s Coffee beberapa blok dari flatku. Sepertinya kali ini adalah hari minum kopi dan muffin bluberi biasa.
      “Kopi?” jawabnya. Aku menatapnya, tidak mengerti. “Pieter’s Coffee, to be exact.”
      “Yak, betul. Lagi.” Ujarku. Ini kali keempat kami minum kopi dari kedai itu. Ada sesuatu tentang kedai kopi yang terkesan tua itu, nampaknya.
      “Dan stand secondhand book di ujung 3rd and 11th.” Sambung Faris. Aku memekik tertahan. Ia tahu betul aku adalah kutu buku dengan budget rendah. Siang ini bukan siang biasa ternyata.
      Faris senyum-senyum saja melihat reaksiku yang agak berlebihan. Bahkan saat kami akhirnya tiba di kedai kopi itu. Biji kopi dan harum kue dari panggangan langsung menguar begitu aku masuk. Kami duduk di sudut favorit Faris—sebuah meja bulat kecil yang cukup untuk dua orang dan dua kursi kayu, tepat di samping sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke jalan. Meja lain disusun dengan kursi yang saling berhadapan, namun khusus meja kami, berapa kali pun mereka menyusunnya, aku dan Faris menyusunnya berdampingan sehingga kami berdua duduk menghadap jendela.
      “One black coffee, one macchiato, and two blueberry muffins.” Dengan lancar, Faris membacakan pesanan kami pada seorang waitress tanpa perlu bertanya apa yang sedang ingin kupesan. Ia mengucapkan terima kasih yang singkat sebelum si waitress berlalu.
      “Gue cinta coffee shop ini kayak gue cinta makan nasi siang-malem.” Ujar Faris. Tatapannya terpaku pada kendaraan-kendaraan yang sedang menunggu lampu hijau di jalan.
      “Tapi kenapa jam makan siang gini kita malah minum kopi dan bukannya cari warteg?”
      Faris tertawa kecil. Renyah sekali. Aku menyukainya karena ketika ia tertawa atau tersenyum, muncul sebuah lesung pipi di pipi kirinya. Aku juga menyukai garis rahangnya yang tegas, bulu matanya yang agak terlalu panjang untuk ukuran seorang pria, ujung rambut wajah bekas cukurannya yang mulai tumbuh lagi, rambut yang jatuh tepat di tengkuknya, dan—sorot matanya yang jenaka. Sejak bertemu Faris untuk pertama kalinya di persimpangan jalan itu, aku tidak menyebutnya tampan. Aku menyebutnya ‘enak dipandang’.
      “Selama warteg yang kita temuin di sini ngga punya cangkir kaleng kayak engkong gue, gue bakal lebih milih ngopi dulu.” Tuturnya menatapku sekilas lalu memaku pandangannya lagi. Aku terkekeh geli. Aku juga menyukai bagaimana berbagai hal keluar dari kepala dan mulutnya seolah berlompatan begitu saja.
      Pesanan kami tiba kurang dari lima menit kemudian. Kami menyesap kopi masing-masing dengan khidmat. Lagu Far Away milik Nickelback melantun dari juke box di seberang ruangan.
      Aku melonjak girang di tempat. “Lagu jaman gue SD, nih!”
      “Berasa dinyanyiin buat siapa, gitu ya?” Faris melirikku lewat ujung matanya. Nada suaranya terdengar menyindir. Aku balas mendelik tanpa menurunkan bibir mug dari bibirku.
      Aku jadi ingat Rayyan. Saat ini kurang lebih tengah malam di Indonesia. Rayyan pasti sedang tertidur pulas di ranjangnya tanpa melepas kaus kaki seperti biasa, setengah jam sebelum kuliah Tata Kotanya—dengan mengacuhkan telefon-telefonku. Ia akan pontang-panting masuk ke kamar mandi dan keluar lima menit kemudian, lalu grabak-grubuk berpakaian sekenanya—lupa bahwa dosennya menolak jeans robek-robek yang tak sengaja ia ambil, menyambar tas, barulah akhirnya mengunci kamar kosnya dan melaju kencang dengan Accord tuanya untuk bergabung dengan macet.
      Lalu Rayyan akan terlambat sampai ke kelas, dilarang masuk, dan terdampar di kampus Fakultas Ekonomi, menemuiku—jika aku sedang di kampus dan belum kuliah—atau menelefonku—jika aku sedang di rumah, menceritakan kesialannya pagi itu dan menyalahkan latihan bandnya yang terlalu keras semalam. Itu selalu terjadi setidaknya dua, tiga kali sebulan. Aku bosan mendengarnya menyalahkan ini itu tetapi tidak juga merubah kebiasaannya. Namun aku tidak sampai hati mengalihkan pembicaraan hanya karena aku sudah hapal rutinitas sialnya di luar kepala. Mendengar suaranya saja cukup menyenangkan dan menenangkan.
      Tapi apa yang terjadi enam bulan ini? Tidak ada cerita sial Rayyan. Pukul sepuluh atau setengah sebelas pagi, ketika Rayyan biasanya berkeluh kesah, aku di sini sedang tertidur nyenyak tanpa bermimpi karena tenagaku terkuras seharian untuk mengikuti serentetan kuliah, mengerjakan setumpuk tugas tanpa ampun, dan harus bangun pukul lima pagi. Namun ketika aku bangun keesokan paginya, aku tetap tidak mendapatkan kabar apapun. Saat aku menyelesaikan semua urusanku di kampus pukul empat sore dan baru sempat mengecek e-mail masuk, sudah hampir pagi di Bandung. Rayyan dapat dipastikan sudah jauh terlelap. Begitu seterusnya. Tidak ada e-mail, tweet, wall post atau yang sejenisnya seusai kuliah Tata Kota. Tidak ada keluhan apapun.
      Kabar bagus sebetulnya. Itu artinya tidak lagi ada Rayyan yang berkeluh kesah dan menyalahkan ini itu. Itu artinya ada Rayyan Yang Lebih Baik. Tapi hati kecil ini telah lama berteriak. Bagaimana jika Rayyan masih berkeluh kesah namun bukan padaku? Bagaimana jika Rayyan berkeluh kesah pada wanita lain? Bagaimana jika Rayyan berkeluh kesah pada Indira, mantan kekasihnya semasa SMA?
      Secara refleks aku menggelengkan kepala kuat-kuat, berusaha mengusir pikiran itu. Aku sudah lama sekali sembuh dari sindrom Bagaimana-Jika-Rayyan yang pada awal-awal kedatanganku ke sini agak gelap dan mengusik.
      Tapi aku memang tidak pernah suka Indira! Jerit sebuah suara jauh di dalam diriku.
      Indira terlalu sempurna untuk ukuran manusia. Ia sangat cocok menjadi kandidat Puteri Indonesia. Ia cantik, anggun, cerdas, berprestasi, berkarisma, kaya raya, baik hati, dipuja banyak orang—for God’s sake, tidak ada orang selengkap itu di belahan manapun di muka bumi ini! Indira seolah hanya karakter buatan yang tidak bercacat. Baik, kuakui aku iri padanya karena ia memiliki segala hal yang diinginkan seorang wanita. Ditambah kenyataan bahwa Indira dan Rayyan pernah berpacaran selama tiga tahun penuh dan putus ‘hanya’ karena Indira harus kuliah film di Munich.
      Aku berani bertaruh jika Rayyan bisa mengikuti Indira pindah ke Munich, mereka pasti masih akan berpacaran sampai detik ini dan—mungkin—menikah dalam waktu satu atau dua tahun lagi. Ini sebetulnya bukan masalah. Aku bisa menyisihkan prasangka-prasangka tentang Indira. Tapi satu lagi kenyataan bahwa mereka masih sering berhubungan via Facebook atau Twitter—bahkan SMS—dalam saat-saat tertentu, membuat ketakutan dan kecurigaanku tetap tumbuh subur.
      Di saat-saat awal ketika aku tahu bahwa aku akan pindah kuliah ke New York, sempat terlintas prasangka jahat itu: Rayyan kembali memacari Indira di belakangku. Susah payah aku membuangnya jauh-jauh hingga akhirnya aku tiba di sini dan hidup dengan pikiran yang tenang. Semuanya terusir oleh satu mantra kecil. Mantra yang kuulang-ulang setiap kali kepercayaanku goyah: aku percaya Rayyan dan Rayyan mencintaiku seutuhnya.
      Di luar semua itu aku sedang sangat merindukan Rayyan.
      “Gue ngga maksud bikin lo jadi keinget Rayyan loh, Bi...” Buru-buru Faris meralat ucapannya dan membangunkanku dari lamunan yang tak terelakkan itu. Ada nada sesal dalam suaranya.
      Aku tersenyum kecil padanya. Senyum lirih yang lemah. Kurapatkan pegangan pada mug kopiku yang tinggal terisi setengah. Sesungguhnya aku sudah terlanjur menenggelamkan diri pada kegalauan.
      “Ketika perasaan seseorang telah dibodohi dan dibohongi sebegitu rupa, butuh waktu berapa lama hingga ia bisa kembali mempercayai?” Tuturku. Faris tahu persis apa dan siapa yang kumaksud. Dalam waktu kurun waktu beberapa bulan belakangan, aku menceritakan bermacam hal dengannya. Aku menceritakan bagaimana mantan pacarku dulu meninggalkanku demi perasaannya yang ternyata masih kuat pada gadis yang pernah ia taksir dulu sebelum ia memacariku. Juga tentang bagaimana hal itu membuatku sedikit trauma menangani kepercayaan yang selalu berujung pada pikiran-pikiranku tentang Rayyan dan Indira. Mungkin Faris sudah sangat bosan mendengarkanku dan ingin melemparkan diri melalui kaca kedai ini.
      Tapi Faris selalu menanggapiku dengan senyum hangat dan penuh simpati. Seperti ini.  Orang-orang dengan senyum seperti inilah yang akan siaga di garda depan sedalam apapun aku terpuruk.
      “No one tells you. You tell yourself.” Jawabnya. “Gue sendiri butuh rebound sampe bisa percaya lagi. Yang mana pada saat itu giliran si rebound girl yang mulai ngga percaya gue. Liat, kan? Semuanya sekarang jadi kayak lingkaran setan.”
      Aku melempar senyum skeptis ke arahnya. Faris, Faris... Gadis mana yang tega mengkhianati pria sepertinya? Gadis mana yang tidak betah berlama-lama mengobrol dengannya? Jelas, bukan aku.
      Bangun, Bianca. Suara itu memerintah dengan tegas. Apa yang kupikirkan? Pikiran jahat macam apa lagi ini yang tiba-tiba menyelinap masuk di antara rindu yang biasa kuraba dan kueja dengan lancar?
     Lagu Like A Star melantun dari juke box begitu saja. Seseorang menggantinya. Ini terasa bagaikan sebuah wake-up-call yang jahat dan kasar. Ini lagu kenanganku bersama Rayyan. Kami pertama kali mendengarnya saat merayakan ulang tahunnya di tahun pertama hubungan kami di sebuah kedai kopi kecil dekat kampus. Mirip tempat ini. Seketika itu juga I could easily relate the song with us.
      Aku tertawa sinis dalam hati. Nadanya agak menghina diri sendiri. Enam bulan tanpa Rayyan ditambah akhir pekan bersama Faris dan aku kini dengan mudahnya membiarkan pikiranku merajalela sampai pada—katakanlah—menjalin sesuatu dengan pria ini? Sepertinya aku harus mengambil beberapa hari cuti jalan dengannya. Tapi—
     “Akhirnya kelas Marketing gue jauh lebih nyita perhatian dari pada sekedar cewek gue yang ngga SMS pagi-pagi.” Ucapannya membuyarkan lamunanku.
      Lihatlah senyum itu. Bagaimana bisa aku cuti dari menghabiskan waktu bersama Faris barang satu atau dua hari? Dia adalah alasan mengapa aku harus bertahan di tempat yang sama sekali asing ini. Dia adalah alasanku tersenyum setiap Jumat sore yang melelahkan hingga Senin pagi yang sibuk. Dia adalah alasan mengapa aku tetap tertawa di saat-saat Rayyan alpa menghubungiku. Dia ini sekarang adalah matahari pagiku, yang menyadarkan aku bahwa selama matahari masih bersinar di tempatnya maka hidup ini tidak patut dikhawatirkan. Adakah yang bisa menjelaskan bagaimana seseorang hidup tanpa terik matahari seperti itu?
      Aku mengerti sekarang. Inilah alasan mengapa hubungan jarak jauh—apalagi antarbenua—itu sulit dan rentan. Seringnya kepercayaan kita goyah oleh bermacam godaan.
      Aku beranjak dari dudukku seraya berkata, “Kenapa kita ngga langsung aja ke 3rd and 11th?”

bersambung...

0 comments: