Catatan Kecil Dari 10 Desember
Siapa dia?
Dia temen sekelas saya waktu kuliah. Dia
menonjol dari pada yang lain karena dia mengajukan diri sebagai ketua kelas.
Yaa, seenggaknya sampe kita tingkat 2. Tingginya sekitar 170an dan bertubuh
padat—kalau tidak bisa dibilang gemuk. Kulitnya coklat gelap, rambut ikalnya
hitam legam dengan potongan gondrong gaje sebahu. Saya suka hidungnya. Eh, ngga juga sih, saya
sebenernya iri sama hidungnya yang lurus dan tinggi itu karena hidung saya
sendiri pas-pasan. Dia ngga ganteng, jujur aja. Tapi ngga jelek-jelek amat
juga. Lumayanlah enak dipandang :D
Dia seorang seniman. Dia melukis dan
menggambar di media apapun yang bisa dia temukan; buku sketsanya, kanvas, modul
praktikum saya, selembar tisu, buku catatan kuliah saya, bangku kelas, seluruh
dinding kamarnya, kaca spion dan lampu motornya, sampai dinding besar di
pinggir jalan raya, tentu aja. Dan karya-karyanya bagus. He’s really a pro.
Dia adalah seorang wirausahawan multitalenta
yang biasa nerima order sablonan.
Dia cerdas,
wawasannya luas, sudut pandangnya lebar. Jenis cowok lempeng yang ngga akan
ngomong atau ketawa kalo ngga penting-penting amat. Dia sangat-sangat
moody—sesuatu yang sampe sekarang sering bikin saya gemes pengen jitak pake
Kapak Naga Geni. Dia kadang persis abg labil kalo lagi gampang marah dan emosi
tapi kadang kayak eyang kakung saya kalo lagi nasehatin saya atau ngobrolin
masalah temen-temen kita. Dia suka baca otobiografi dan dengerin musik cadas
atau musik blues—atau soundtrack Twilight Saga akhir-akhir ini setelah saya
pengaruhi. Dia tipe pekerja keras dan rasa tanggung jawabnya tinggi. He’s a bad
guy gone good. Dia pria dengan kombinasi teraneh yang saya kenal. He’s
wonderful.
Gimana ya
mendeskripsikan saya, dia, dan hubungan kami?
Saya
rasa dia udah kelewat sabar ngadepin saya selama ini karena saya mungkin adalah
pacar yg paling beda dari pacar-pacar sebelumnya karena
paling bawel, paling ngga nyantai, paling rumit, paling manja, paling lebay, paling sering bikin
pusing, dan paling-paling lainnya. Semuanya saya pikir adalah karena jarak kami
yang deket dan intensitas ketemuan yang tinggi banget ini. Clash jadi gampang
banget terjadi.
Apa
sebenernya yang lagi kita jalanin?
Di
bulan ke-13, berantemnya mulai aneh; kecil-kecil tapi sebentar-sebentar. Di menit ini kita
berantem, adu argumen, saling memenangkan diri sendiri, dan 20 menit kemudian kita dengan
ajaibnya bakal ngirim sms selamat tidur yang manis lengkap dengan virtual
goodnight kiss-nya kayak biasa.
Saya
heran, apa sebetulnya yang ada di pikiran dia setiap kita
berantem. Saya selalu pengen tahu tapi ngga pernah
berani nanya.
Apa yg paling
saya suka dari dia?
Dia,
keberadaan ataupun ketiadaannya, selalu bikin saya merasa aman. Secara fisik
dan mental. Badannya--jelas--lebih besar dari saya, lebih tegap, lebih berotot,
lebih lebar, dan itu--sekali lagi jelas--bikin saya yg kecil ini jadi merasa
sangat terlindungi.
Selain
itu, dia punya sesuatu yg orang lain ngga punya. Dia selalu bisa bikin keadaan
jadi tampak baik2 aja dan ngga ada yg ngga bisa saya lakukan. Semuanya jadi
terlihat mungkin, semustahil apapun kelihatannya.
Apa yg sama
di antara kami berdua?
Ngga
banyak. We're different in many ways and forms. But we're also alike in an
unpredictable way.
Kayak
kita ternyata suka beragam jenis musik dan ngga bisa stick di satu
genre--kecuali ada yg kita berdua cinta bgt kayak soul.
Lalu kita suka makan apapun di pinggir jalan. Walaupun saya sendiri ngga
nolak kalo diajak makan di resto yg kecean dikit :P
Terus...
Kayaknya ngga ada lagi. Bedanya lebih banyak.
Apa yang
menyenangkan dari hubungan ini?
Surprisingly,
bukan cuma kebersamaannya, tapi juga keterpisahannya. Okelah, let's say we live
in the same life. Kita mesti ketemu sekitar 4-6
jam sehari, 4 hari seminggu, biarpun ngga mesti sama2 karena temen2 saya dan
temen2 dia bisa dibilang adalah 2 grup yg bertolak belakang; temen2 dia
kerjanya duduk2 dgn tenang bareng2 di kosan dan temen2 saya seringnya jalan2
keliling kampus atau malah nge-mal di sela2 kuliah.
Tapi
itulah yg saya pelajari. Sejak sama dia, saya punya kemampuan hebat--hebat
sekali malah-- untuk mentoleransi kesendirian.
Anehnya,
sendirian versi saya tidak lagi berarti 'ngga punya siapa2 yg menemani'.
Sekarang sendirian versi saya adalah 'merelakan diri ditelan kebisingan dgn
tetap merasa ramai'.
Toh
kita ngga harus selalu berdua--walopun ada beberapa saat di mana saya lagi
pengen2nya manja2an sm dia. Lebih baik sendirian dan merasa ramai di dalam
daripada selalu dikelilingi keramaian tetapi merasa sepi di dalam.
What
a good thing to learn :)
Hal
lain yg menyenangkan dari hubungan ini adalah betapa saya menikmati detik2 saya
tersenyum2 penuh kenistaan ketika saya menemukan bukti kecil bahwa saya adalah
pacarnya dan seolah2 seisi dunia tahu itu dari ceritanya. Seperti malam itu,
waktu teman2nya bertanya di mana pacarnya. Saya cuma tersenyum2 bodoh membaca
smsnya selama beberapa detik.
You
know, that kind of smile when a guy stating directly or indirectly that he owns
you.
Saya
menikmati detik2 itu. Saya menyukai fakta sederhana bahwa saya memiliki dan
dimilikinya.
Fakta paling
mengejutkan?
I've
had it that night. Waktu teman2 menggambarnya menginap di rumahnya. Saya tahu
kalo kelakuan teman2nya itu sama seperti kelakuan dia jaman sekolah dulu. Sama
tahunya kalo sekarang dia udah bener2 free and healed. With all the booze, girls, bikes, and another wilderness.
Begitu
dia ngaku kalo tempo lalu dia pernah balik lagi ke 'sana', saya biasa aja. Tapi
hal itu jadi ngga lagi kerasa biasa sewaktu saya mewanti2nya pas temen2nya lagi
nginep itu, supaya jangan sampe dia ikut2 'balik lagi ke sana'. Ada dorongan
aneh di diri saya kalo ngebayangin dia begitu lagi. Entah itu campuran perasaan
khawatir, takut, ngga percaya atau apa, saya ngga ngerti.
I
just thought that I would cry if he ever does it again. Itu tuh rasanya kayak ngeliatin orang yang kamu sayang tenggelam di laut
dan kamu ngga bisa ngapa-ngapain kecuali berdiri di sana, ngga berbuat apa-apa
karena kamu ngga bisa berenang.
Apa yang terjadi pada saat-saat genting?
Saya—kita tepatnya—berada di satu bulan penuh
masalah. Penuh sekali dengan kejenuhan, kekesalan, kemarahan, kedinginan, dan
prasangka. September 2012 itu, adalah bulan berat untuk saya dan dia. Sejak
awal bulan yang kita berdua lakukan adalah berselisih paham, beradu argumen,
meredam amarah dan kekesalan. Samapi akhir bulan pun kita masih seperti itu;
dia menjadi lebih cepat marah sedangkan saya menjadi lebih sering berprasangka.
Tiap hal yang kita lakukan atau tiap hal yang saya katakan seolah menjadi
bumerang yang berbalik menyerang saya. Saya jadi lebih waspada pada hal
terburuk yang mungkin terjadi. Berulang-ulang saya bilang ke diri sendiri bahwa
ini cuma satu dari sekian banyak ujian yang memang sudah waktunya tiba. Saya
pada bulan itu dilanda kebingungan yang jujur saja cukup menyesakkan. Tiba-tiba
saja muncul pertanyaan-pertanyaan berbahaya di kepala saya; ‘apa aku akan
kuat?’, ‘apa dia akan bertahan dengan aku yang begini?’, ‘berapa lama kita
mampu bertahan?’,‘apa kita akan sampai tujuan?’, ‘apa yang harus aku lakukan
agar kita bertahan lebih lama dan lebih lama lagi?’ dan pertanyaan-pertanyaan
lain yang sejenis. Dan ini tidak terjadi pada kali itu saja. Namun juga pada beberapa
titik di perjalanan saya dan dia yang telah lalu.
Tapi yang tidak pernah gagal membuat saya
yakin adalah sebuah fakta kecil yang pernah dia bilang bahwa dia ngga bertahan
karena kasihan, dan bahwa dia tinggal karena memang sayang dan kalopun perasaan
itu udah menguap dia bakal bilang dan ngga usah repot-repot bertahan.
See? Dia bertahan.
Setidaknya untuk sebuah proses yang kita
jalani pelan-pelan ini. Saya selalu kembali ke situ setiap kali ketakutan dan
keraguan menyergap. Dan yang bisa saya lakukan kemudian hanya menanamkan keyakinan
kuat-kuat bahwa jika kita memang dilahirkan untuk saling menemani, maka kita
akan baik-baik saja dan jika pun tidak, maka ada rencana lain yang telah Tuhan
siapkan untuk kita. Saya mulai berhenti menaruh ekspektasi. Saya cuma perlu
yakin. Dan menerima. J
Apa yang dia ngga tahu?
I’ll tell you some things. Kadang saya masih
deg-degan kalo mau ketemu sama dia, mau itu dia yang dateng ke rumah, kita
ketemu di kampus, atau sekedar pergi kencan. Deg-degan dan malu itu masih ada,
masih sama kayak waktu baru mulai pacaran dulu.
I wonder why.
Hal lain yang dia ngga tahu adalah bahwa tiap
BBM atau SMS kecilnya bisa bikin mood saya naik seketika. Saya ngga peduli
isinya apa, mau itu cuma nanya lagi apa, udah makan atau belum, atau ucapan
paling magic sedunia kayak, ‘selamat pagi’.
Saya juga sebenarnya ngga musingin kalo kita
ngga ketemu karena dia sibuk dan seharian kita ngga saling menghubungi. Karena
satu telefon 14 menit atau beberapa SMS atau BBM malemnya udah cukup. Yang
penting dia inget saya di sela-sela kesibukannya. Dan itu cukup.
Saya selalu kangen ucapa selamat pagi
darinya. Itu selalu terasa menyenangkan dan menghangatkan.
Oia, dia juga ngga tau kalo malem bulan
September waktu saya nulis bagian pertanyaan ini, saya terus-terusan
senyum-senyum ngeliatin foto kita berdua yang kita ambil sorenya di rumah saya
sepulang kuliah. Manis juga sebenernya. Biarpun mukanya asem-asem gimana gitu.
Silakan
bilang saya dangdut.
Apa yang aneh?
Dari dulu saya pikir seru kali ya ngabisin
waktu deket-deket dia, ngerjain satu proyek bareng-bareng, pusing
bareng-bareng... Saya selalu nunggu kesempatan itu. tapi ketika kesempatan itu
bener-bener dateng, di beberapa titik saya malah capek. Saya malah takut.
Capek karena ego saya dan dia gampang banget
berbenturan. Perselisihan yang paling mendasar semacam, selera siapa kayak
gimana, siapa sukanya apa, siapa mikirnya apa, dll.
You know, we’re two different people. Di
beberapa sisi harus diakui saya dan dia ini ngga bisa sama.
Saya takut masalah- masalah dan ego yang
saling bergesekkan ini bakal merusak sedikit demi sedikit alih-alih menguatkan
ikatan yang kita bangun dari nol sama-sama.
Mungkin bener, ya absence makes heart grow
fonder. Dan bahwa lebih baik menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Termasuk juga
porsi tatap muka dan komunikasi. Karena perlu diakui kalau jarak dan ketiadaan yang
sementara bikin hati dan ikatan lebih kuat, lebih erat, lebih dekat.
Apa harapan yang sebenar-benarnya?
Ngga’ banyak. Ngga’ muluk juga mungkin. Saya
cuma pengen jadi orang yang selalu berhasil bikin dia senyum lagi kapanpun dia
ada di saat-saat terburuknya. Saya pengen kalo misalnya suatu saat nanti kami
ngga’ bisa sama-sama lagi terus kita ketemu di jalan, dia bilang dalam hatinya,
‘gadis ini yang selalu jatuh hati padaku.’ Begitulah bagaimana saya ingin
diingat. Saya ngga’ pengen ngerasa paling bener mencintai dia. Cukup bagi saya
memberikan perasaan ini kepada pria seperti dia. Dengan cara yang benar. Karena
mencintainya adalah keputusan yang benar.
Pacar
saya emang ngga kayak cowok2 lainnya. Tapi emangnya kenapa? Dia terasa lebih
baik :)
0 comments: